Konsep
Ketuhanan
Dewa Matahari atau Amaterasu Omikami
adalah bagian yang paling menarik karena paling banyak disebut dalam pembahasan
tentang agama Shinto namun nyaris tidak mudah “ditemukan” dalam situasi riil.
Perwujudan dewa ini bisa ditemukan dalam sejumlah buku ataupun lukisan kuno
namun tidak akan kita temukan di setiap kuil Shinto. Menariknya agama ini tidak
mengenal tradisi pemujaan patung, jadi altar utama kuil tidak akan ditemukan
gambar ataupun arca apapun apalagi gambar dewa Matahari. Satu satunya kuil
yang khusus dibangun untuk menghormati dewa ini hanyalah kuil Ise Jingu yang merupakan kuil milik
keluarga kerajaan.
Hubungan antara Kami dengan manusia menurut
konsep Shinto juga cukup unik. Tuhan hidup di laut, sungai, sawah dll atau
dengan kata lain hidup tidak jauh dari kehidupan mereka sehari hari. Jadi Tuhan
bagi mereka adalah bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan. Mikoshi atau Dashi misalnya sebagai
perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai ramai selama festival
di kuil mungkin adalah salah satu contoh menarik. Simbul Tuhan atau “Kereta
Tuhan” ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang
guncangkan, dibenturkan, dibenamkan ke laut serta dinaiki beramai ramai bahkan
diduduki pada bagian atapnya oleh beberapa orang selama proses prosesi.
Dewa-dewa dalam agama Shinto
jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan
dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut
agama Shinto kepercayaan terhadap dewa yang tak terbatas tersebut justru
dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti
menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha
suci dan maha murah Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi
kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang
mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang
berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan
gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni “Kami” versus
Aragami (Dewi melawan roh jahat).
Ada tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama
Shinto, yaitu :
- Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
- Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
- Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Dewi matahari Shinto disebut Tensho
Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari
seluruh “Kami”, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa Pencipta dari
mitologi Jepang. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki (Catatan tentang
Hal-hal Kuno) dan Nihon Shoki (Sejarah Negeri Jepang), Amaterasu adalah
pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari keluarga kerajaan. Dalam banyak
tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin sebagai personifikasi
dari perbuatan-perbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang yang memiliki
hati kepercayaan dalam Hukum Sejati.”
Para dewa-dewi Shinto disebut “Kami”,
juga terdapat dalam Gohonzon. Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh,
yang dipuja dalam Shinto antara lain: Naga (mahkluk berupa ular), Dosojin,
Ebisu (salah satu dewa keberuntungan Jepang), Dewa Hachiman, Henge, Kappa,
Kitsune (Roh Srigala), Oinari (Roh Srigala), Shishi (Singa), Su-ling (Empat
Binatang Pelindung), Tanuki (Sejenis Dewa
Kuil-Kuil
Shinto.
Kuil Shinto sangat banyak,
lebih dari 100.000 di Jepang. Dalam kuil tidak ada citra/patung yang
dipuja, tapi dianggap bahwa Kami sendiri ada di sana. Makanan segar, air, dupa dll,
dipersembahkan setiap hari di altar. Ada
kepercayaan batin mengenai kesucian dari seluruh alam semesta, dan bahwa
manusia dapat selaras dengan kesucian ini. Tekanan diberikan pada kebenaran dan
penyucian melalui mana manusia dapat menghilangkan “debu” yang menyembunyikan
kesuciannya yang melekat pada dirinya dan dengan demikian menerima bimbingan
dan karunia dari Kami.
Kuil Shinto (jinja) adalah struktur
permanen dari kayu yang dibangun untuk pemujaan berdasarkan kepercayaan Shinto.
Tidak semua kuil Shinto adalah bangunan permanen, sejumlah kuil memiliki jadwal
pembangunan kembali. Bangunan di Ise Jingū misalnya, dibangun kembali setiap 20
tahun.
Pada zaman kuno, walaupun tidak
didirikan bangunan, tempat-tempat pemujaan Shinto tetap disebut jinja (kuil
Shinto). Pada masa itu, kekuatan alam yang ditakuti seperti gunung (gunung
berapi), air terjun, batu karang, dan hutan merupakan objek pemujaan. Kuil
Shinto berbentuk bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari
bangunan pemujaan yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah
dari goshintai (objek pemujaan). Kuil Shinto tidak memiliki aula untuk
beribadat, dan bukan tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebar luaskan
agama. Pada zaman sekarang, kuil Shinto dipakai untuk upacara pernikahan
tradisional Jepang.
Kuil Shinto bermula dari altar
(himorogi) yang dibangun sementara untuk keperluan pemujaan di iwakura (tempat
pemujaan alam) atau tempat tinggal para Kami yang dijadikan tempat terlarang
dimasuki manusia, pada umumnya shintaisan (gunung tempat tinggal para Kami). Ada pula kuil yang hanya
membangun haiden di depan iwakura atau gunung/pulau yang terlarang dimasuki
manusia (misalnya: Kuil Ōmiwa, Kuil Isonokami, Munakata Taisha). Sebagian dari
kuil Shinto sama sekali tidak memiliki bangunan, misalnya Kuil Hirō di Kumano
Nachi Taisha. Setelah dibuatkan bangunan permanen, para Kami sehari-harinya
dipercaya selalu ada di dalam kuil Shinto. Bangunan permanen dalam kuil Shinto
juga diperkirakan sebagai hasil pengaruh agama Buddha yang selalu memiliki
bangunan untuk menyimpan patung Buddha.
Berdasarkan alasan yang tidak
diketahui, penganut Shinto kuno mendirikan bangunan di tempat yang berdekatan
dengan goshintai yang sudah dipuja sebelumnya secara turun temurun. Bangunan
Kuil Koshikiiwa misalnya, dibangun berdekatan dengan iwakura. Ketika dirasakan
perlu untuk mendirikan bangunan kuil, misalnya ketika mendirikan desa, penduduk
memilih tempat yang dianggap suci sebagai tempat pemujaan ujigami atau bunrei.
Berdasarkan alasan pendirian
bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis:
- Bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di tempat yang berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang berkaitan dengan tokoh yang disucikan, misalnya Tenmangū di Dazaifu),
- Bangunan kuil yang didirikan di tempat yang telah disucikan.
- Bangunan kuil yang didirikan di tempat yang mudah dicapai orang. Kuil Nikkō Futarasan misalnya, berada di puncak gunung hingga perlu dibangun kuil cabang di lokasi yang mudah didatangi.
Bangunan kuil dapat dibangun di mana
saja, mulai dari di tengah laut, di puncak gunung, hingga di atap gedung
bertingkat atau di dalam rumah dalam bentuk kamidana. Pada saat ini, Ise Jingu merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan
matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan
peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Artikel
selanjutnya :
Kepala
pendeta disebut gūji, tugasnya memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan
kuil, dan bertanggung jawab atas keseluruhan urusan
kuil.................. ). Karena itu agama Shinto sering
dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan pensucian dan diakhiri dengan
pensucian. ........... Dalam teologi agama Shinto dikenal
empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa
(norito), dan pesta makan ......... Festival dan Matsuri yang lain : Festival Salju Sapporo (Sapporo, Prefektur Hokkaido, bulan
Februari), Festival Salju Iwate (Koiwai Farm,
Shizukuishi, Prefektur Iwate, bulan Februari) ............
Compiled : I Dewa Putu Sedana,
(Dari Berbagai Sumber).
Ritual Agama Shinto 4 |
Jainisme, Agama yang Atheis 1 |
Misteri Kehidupan Masa Lalu 1 |
Misteri Jembatan Ramayana (I) Kaliyuga, Ramalan Sabdopalon 1 |
Belum ada Komentar untuk "KETUHANAN AGAMA SHINTO (3)"
Posting Komentar