Pengantar
Artikel
berikut ini ditujukan untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan kita
masing-masing. Falsafah Agama ini tidak mungkin bisa dikembangkan di Indonesia
yang berlandaskan Pancasila yang pada Sila Pertamanya jelas menyebutkan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. karena Jain adalah agama yang Atheis.
Anda mungkin akan heran seperti juga halnya saya sendiri, bahwa disalah satu
sudut dunia ini, masih bisa hidup tanpa pernah diusik oleh pemerintah
atau penganut agama lain sebuah Agama yang Atheis. Dan ajarannya bukan hanya
sekedar diucapkan saja tetapi “dilaksanakan”, seperti misalnya pendetanya
melepaskan diri dari keterikatan keinginan fikiran, sehingga beliau hidup tanpa
mengenakan busana. Dan untuk pengendalian fisik dan fikirannya mereka
senantiasa melaksanakan pola hidup vegetarian, puasa dan tidak
tanggung-tanggung, masih ada yang melaksanakan puasa selama satu tahun
pada tahun 1998 yang lalu. Adalah suatu kemuliaan bagi penganut Jain
apabila membiarkan dirinya mati kering-kerontang kelaparan. Semoga
bermanfaat.
Pendeta
Jain menolak memakai barang-barang duniawi
Jainisme.
Jainisme adalah sebuah agama kuno di India yang mana
dikatakan berasal dari keluarga Dharma. Walaupun pengikutnya adalah kelompok
minoritas dengan lebih kurang 4,9 juta pengikut di India, pengaruh pengikut
Jain pada agama, etika, politik, dan ekonomi cukup besar. Penyebaran luas
konsep falsafah India seperti karma, ahimsa, mokhsa, dan reinkarnasi,
dilaksanakan juga oleh penganut Jain atau dikembangkan dari sekolah gagasan
Shramana, tempat asalnya Jainisme. Jainisme adalah agama tua di
India yang asal-muasalnya bersisian dengan Hindu. Beberapa kemiripan ajaran
Jainisme dan Hindu menimbulkan anggapan kalau agama ini salah satu sekte dari
Hindu.
Perbedaan
mendasar antara Jainisme dan Hindu terlihat pada Astika dan Nastika. Penganut
agama di India dibedakan atas 2 prinsip tersebut. Yang memegang prinsip
Astika menerima otoritas Weda sebagai kitab suci serta melibatkan
kepercayaan Brahmani. Nyaya, Mimamsa, dan Yoga termasuk ajaran-ajaran berdasar
Astika, dan berarti golongan Hindu.
Sementara
penganut agama yang berprinsip Nastika menolak Weda dan kitab-kitab yang
dipakai oleh pemeluk Hindu. Jainisme termasuk kelompok ini dan lebih
mendasarkan kepercayaan mereka yang anti kekerasan.
Sebutan
“Jain” menurut Sri Krisna Saksena, berasal dari kata “Jina” (Sansekerta.), yang
berarti pemenang atau yang mengalahkan. Artinya, berhasil mengalahkan atau
mengatasi secara tuntas kungkungan atau belenggu penyakit dan penderitaan dalam
kehidupan nyata ini. Orang semacam ini boleh disebut sebagai Jain, atau
pemenang.
Bagi
Jainisme, kehidupan di dunia ini diabadikan atau dibuat kekal oleh peralihan
Jiva yang secara esensial telah menyebabkan keburukan dan penderitaan. Oleh
karena itu, tujuan hidup sebenarnya adalah untuk mengakhiri siklus kehidupan
atau rangkaian kelahiran kembali itu, yang baru bisa tercapai apabila manusia
berhasil memiliki pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar ini isinya
adalah hal-hal yang mengandung kelepasan.
Pendiri
dari komunitas Jain adalah Vardhamana. Dia memperoleh pencerahan pada 420 SM.
Jainisme memiliki banyak kemiripan dengan Hinduisme dan Budhisme
yang lahir di area yang sama.
Patung
Mahawira di Kuil Vimalsha di Rajasthan
Jainisme
tidak mempermasalahkan keberadaan Tuhan atau mahluk lain yang lebih
tinggi dari manusia sempurna. Jiva adalah sesuatu tanpa permulaan dan tanpa
akhir. Jiva dikategorikan dalam tiga kategori: Jiva yang belum mengalami
perubahan; Jiva yang sedang mengalami perubahan dan Jiva yang sudah bebas dari
kelahiran kembali.
Ãgama
Jain mengajarkan penghormatan yang sangat tinggi untuk segala bentuk kehidupan,
ajaran yang ketat mengenai vegetarian, samadi , tanpa kekerasan meski dalam
pembelaan diri, dan menentang peperangan. Jainisme adalah agama kasih sayang. Cinta
kasih terhadap semua kehidupan, baik manusia atau bukan, adalah hal yang
utama dalam Jainisme. Pembunuhan manusia tanpa alasan, meskipun dengan
alasan bahwa orang itu telah melakukan kejahatan tidak dapat dibenarkan
Menurut
keyakinan Jain, alam semesta tidak pernah tercipta dan tidak pernah musnah. Ia
abadi namun berubah, karena melalui siklus-siklus tanpa akhir. Masing-masing
siklus ini terbagi dalam enam zaman (yuga). Masa kini adalah zaman kelima dari
siklus ini, yang bergerak turun. Zaman disebut “Aaro” seperti zaman pertama
disebut “Pehela Aara”, zaman kedua disebut “Doosra Aara” dan seterusnya. Zaman
terakhir adalah Chhatha Aaro” atau zaman keenam. Semua zaman ini memiliki
durasi tetap ribuan tahun. Saat tingkat terendah tercapai, Jainisme juga akan
lenyap seluruhnya. Maka, pada siklus selanjutnya, agama Jain akan ditemukan
kembali dan di kenalkan kembali oleh para pemimpin baru yang disebut
Tirthankara (pembuat lintasan), dan akan lenyap lagi pada akhir siklus, dan
seterusnya.
Sekalipun
pengikutnya sangat sedikit dibandingkan penduduk India, agama ini masih eksis
dengan pengikut-pengikutnya yang terpencar diberbagai wilayah. Ajaran ini
menekankan aspek etika yang sangat ketat, terutama komitmennya terhadap konsep
ahimsa. . Jain menegaskan bahwa ahimsa termasuk sikap tanpa kekerasan terhadap
binatang dan manusia. Akibat dari kepercayaan ini, mereka mengikuti pola
“vegetarian” alias cuma makan tetumbuhan, termasuk rumput dan alang-alang.
Tapi, penganut yang taat kepada agama Jain ini berbuat lebih jauh lagi dari
itu. Nyamuk yang menggigit kulit dibiarkan semau-maunya. Meski lapar, tidak
bakalan mau makan di tempat gelap. Bukankah kalau gelap jangan-jangan bisa
kemasukkan lalat atau tertelan nyamuk? Makanya, kalau penganut Jain mau
menyapu jalan atau pekarangan, dia akan rogoh kantong dan mengupah orang
lain melakukannya, takut siapa tahu menginjak serangga atau cacing.
Menurut
tradisi Jaina, garis perguruan yang sangat panjang sejak zaman pra-sejarah
diturunkan dimana keyakinan ajaran ini diteruskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Guru-guru yang telah meneruskan ajaran-ajaran Jaina ini
berjumlah dua puluh empat orang, yang disebut Tirthankara atau penyebar
keyakinan dan yang telah mendapat pencerahan.
Jaina
percaya dengan pluralisme Jiva. Terdapat Jiva-Jiva sebanyak tubuh hidup yang
ada. Tidak hanya Jiva dalam binatang, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan bahkan
dalam debu. Hal ini juga diterima dalam ilmu pengetahuan modern. Tidak semua
Jiva memilki tingkat kesadaran yang sama, ada yang lebih tinggi ada
yang lebih rendah. Semaju apapun indra-indranya, Jiva terbelenggu dalam
kesadaran yang terbatas. Tetapi setiap Jiva mampu mencapai kesadaran tak
terbatas, kekuatan dan kebahagian. Mereka dihalangi oleh karma, seperti
matahari dihalangi oleh awan. Karma dapat menyebabkan belenggu Jiva. Dengan
menyingkirkan karma, Jiva dapat menyingkirkan belenggu dan mendapatkan
kesempurnaan alamiah.
Jaina
juga menghormati semua jenis pemikiran. Sistem ini menunjukkan bahwa setiap
objek mempunyai aspek-aspek yang tak terbatas yang ditentukan oleh dirinya
sendiri dan bukan dari luar dirinya sendiri atau dari pandangan yang berbeda.
Mengingat keterbatasan pikiran, tidak ada satu pikiran berlaku benar bagi semua
benda atau hal. Kita harus belajar menjaga dan memprtahankan pikiran kita
masing-masing dengan cara menghormati kemungkinan kebenaran pendapat atau
pemikiran orang lain.
Sedangkan
Karma adalah pengikat yang menggabungkan Jiva dengan tubuh. Keyakinan yang
benar, perbuatan yang benar, pengetahuan yang benar membentuk jalan yang benar
untuk mencapai pembebasan yang merupakan efek dari ketiganya tadi. Ketiganya
ini merupakan triratna (tiga permata) bagi Jainisme. Bagi Jain setiap Jiva atau
mahluk spiritual berhak disembah. Karena itu mereka tidak menyembah Tuhan.
Artikel selanjutnya :
Kebebasan Jiva dan kesamaan semua kehidupan dengan penekanan yang khusus dengan dasar tanpa kekerasan .
Mengekang diri (vrata) merupakan cara bagi penganut Jainisme untuk
mencapai moksha ......... Tirthankara muncul di dunia, yang
mengajarkan cara untuk mencapai moksha, atau kebebasan. Tirthankara
bukanlah reinkarnasi dari Tuhan. Dia adalah Jiwa biasa, yang terlahir sebagai
manusia, ........... Tirthankara bukanlah pendiri sebuah agama, tetapi seorang
guru yang maha tahu, yang hidup beberapa kali dalam sejarah kehidupan
manusia ........ Kaum Jain percaya bahwa apabila jasad manusia mati, sang Jiva
tidaklah ikut-ikutan mati bersama sang jasad tapi beralih (reinkarnasi) ke
badan lain (tak perlu badan manusia) ...........
Compiled By: I Dewa Putu Sedana,
(Dari berbagai sumber)
KLIK JUGA :
KLIK JUGA :
Kepercayaan Jainisme, Agama yang Atheis 2 |
Vibrasi Warna Tubuh 1 |
Misteri Jembatan Ramayana (I) |
Agama Bahai Aliran Sesat 1 |
Animisme, Dinamisme dan Sains 1 |
Belum ada Komentar untuk "JAINISME, AGAMA YANG ATHEIS (1)"
Posting Komentar