Walaupun wilayah
Kalianget sangat kering dan tandus, hal tersebut bukanlah merupakan masalah
bagi seluruh rakyat / panjak beliau, karena seluruh panjak beliau telah
mengetahui Ida I Dewa Kaleran Pemayun Sakti memiliki suatu pusaka sakti yang
mampu menimbulkan mata air.
Oleh karena di sektor pertahanan dan keamanan Bali Barat Laut sudah dapat
dirasakan mantap dan terkendali, maka otomatis diikuti tuntutan perbaikan
ekonomi. Produksi pertanian perlu
dikembangkan dan ditingkatkan. Maka sektor pengairan mulai menjadi pemikiran
semua pihak. Dengan adanya pusaka yang ampuh dan sakti milik Ida Sang Prabu,
yang telah terbukti keampuhan dan kesaktiannya ketika menciptakan mata air “
Merta Ketupat “ atau Yeh Ketupat, maka masalah di bidang pengairan dianggap
sangat ringan dan rakyat sangat optimis akan mengalirnya air untuk pengairan.
Maka rakyatpun mulai mohon kepada Ida Sang Prabu agar beliau berkenan
mengadakan mata air untuk pengairan tanah – tanah pertanian. Dengan senang hati
Ida Sang Prabu berkenan mengabulkan permohonan panjak beliau. Maka beliau
memerintahkan rakyat agar bergotong royong membuat saluran air, yang ditujukan
ke kaki Gunung Batukaru / Bukit Keregan. Setelah saluran itu selesai,
Ida Sang Prabu berangkat menuju kaki gunung Batukaru beserta pusaka ampuh
beliau demi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat beliau. Setelah sampai
di kaki gunung Batukaru, manakala beliau bersiap – siap untuk menusukkan pusaka
ke kaki gunung Batukaru, tiba – tiba terdengarlah suara gaib dari Ida Betara Gunung Batukaru dan beliau sangat
marah serta melarang niat Sang Prabu. Apabila larangan ini tidak diindahkan,
maka ancamannya sangat berat sekali, yaitu Ida Sang Prabu akan mengalami
kehancuran total, Kerajaan Kalianget akan
berantakan. Mendengar suara gaib
tersebut, maka Ida Sang Prabu mengurungkan niatnya untuk menusuk kaki gunung Batukaru,
dan beliau kembali ke Keraton Kalianget tanpa hasil apa – apa alias gagal.
Padahal seluruh rakyat Kalianget telah menunggu dengan penuh harap akan
kedatangan aliran air untuk mengairi sawah – sawah yang kering kerontang dan
sangat tandus . Akan tetapi air yang ditunggu – tunggu tidak kunjung datang.
Lama – kelamaan saluran air yang telah dipersiapkan sebelumnya ditumbuhi semak
– semak belukar yang sangat lebat sekali dan saluran air tersebut diberi nama
julukan “ Tukad Mendaum “ : sungai yang penuh dengan semak – semak belukar,
bukannya air. Mendaum bersal dari kata Manda yang berarti dangkal, Aum/ Aub
berarti lebat penuh dengan semak belukar. Nama ini diberikan karena aliran
sungai yang telah di buat oleh Raja bersama rakyat lama tidak berair, akibatnya
di kanan kirinya tumbuh semak belukar yang rimbun, pada aliran sungai terdapat
sampah dan lelongsoran tanah sehingga menjadi dangkal. Mandaung yang berasal
dari kata manda yang artinya keluar atau muncul, Aung adalah mesatria Raja,
Mendaum berarti atau di artikan baru muncul atau di perlihatkan kesaktian Raja,
yaitu dengan menikamkan keris pusaka Ki Baan Kau di kaki gunung Watukaru
barulah muncul mata air yang mengaliri saluran air yang telah di gali
sebelumnya, sejak saat itu sungai tersebut di beri nama sungai “ Mendaum”.
Karena seringnya para panjak beliau menyebut – nyebut nama Tukad Mendaum, yang
ditumbuhi semak belukar, Ida Sang Prabu mulai berpikir lagi mengenai nasib
seluruh panjak beliau di wilayah Kalianget. Ibarat makan Buah Simalakama :
dimakan salah, tidak dimakan juga salah. Kalau kaki gunung Batukaru ditusuk oleh Ida Sang Prabu, maka Ida Sang
Prabu akan terkena kutukan Ida Betara Gunung Batukaru dan Kerajaan Kalianget
akan mengalami kehancuran, dilain pihak, bila permohonan panjak beliau tidak
dipenuhi, berarti panjak akan mati kelaparan, panjak beliau akan hancur. Setelah Ida Sang
Prabu berpikir dan mempertimbangkan masak – masak, maka diambil keputusan bahwa
beliau akan mengabulkan permintaan panjak beliau, demi terwujudnya pengairan /
irigasi yang baik, untuk kemakmuran panjak beliau, hingga panjak beliau
terhindar dari bahaya kelaparan /
kehancuran. Demi keselamatan panjak beliau, beliau rela hancur. Demikianlah kebulatan tekad beliau dalam
memperjuangkan kepentingan / keselamatan seluruh panjak. Karena Prabu tanpa
panjak tiada artinya. Maka berangkatlah Ida Sang Prabu menuju kaki Gunung Batukaru,
dan tanpa berpikir panjang lagi, Ida
Sang Prabu langsung menancapkan keris pusaka beliau pada kaki Gunung Batukaru,
maka menyemburlah air bersih dan mengalir dengan derasnya mengikuti saluran air
yang telah disiapkan oleh para panjak beliau jauh sebelumnya. Aliran air tersebut, sekarang dikenal dengan
nama “ Tukad Mendaum“ di desa Kalianget yang mampu mengaliri seluruh areal
persawahan di sebelah timur Seririt dan di sebelah barat Banjar. Dengan
demikian produksi persawahan melimpah ruah dan seluruh panjak Ida Sang Prabu
dapat menikmati hasil persawahannya secara maksimal.
Karena Ida Sang Prabu telah berani melanggar larangan Ida Betara Gunung
Batukaru, maka Ida Betara di Gunung Batukaru mengeluarkan kutukannya : “ Ih
kamu Kaleran, beraninya kau menusuk aku, terkutuklah kau, semoga keturunanmu
kelak terpencar dimana–mana seperti ulat nangka dan banyak kerja tetapi kurang
pangan “ Begitulah kutukan Ida Betara Gunung Batukaru terhadap I Dewa Gede Kaleran
Sakti,
Jaya Prana Kecil dalam Drama Tari
Awal dari kisah Jaya
Prana adalah akibat dari keberanian Prabu
yang tidak mengindahkan larangan sehingga lambat laun kutukan sudah mulai
menunjukkan tanda-tandanya. Rakyat dilanda wabah penyakit tapi tidak sampai di
keraton. Ida Betara Gunung Batukaru menjelma menjadi seorang anak putri yang
dipungut oleh I Gede Bendesa yang diberi nama Ni Layon Sari. Dan menjadi seorang anak laki-laki. Pada saat Sang Prabu meninjau rakyatnya yang
terkena wabah, anak kecil tersebut dipungut dan diberi nama I Jaya Prana. I
Jaya Prana tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, patuh dan cerdas sehingga
menjadi anak kesayangan raja. Setelah besar I Jaya Prana disuruh mencari jodoh dan
bertemulah ia dengan Layon Sari yang kemudian dinikahkan oleh Sang Prabu di
keraton. Pada saat pernikahan berlangsung ternyata secara diam-diam Sang Prabu
tertarik pada kecantikan Ni Layon Sari. Dipanggillah Maha Patih Ki Patih Sawunggaling untuk membuat upaya
untuk membunuh Jaya Prana dengan cara memerintahkan Jaya Prana untuk
mengamankan margasatwa yang dirusak Wong Bajo (orang Madura) di barat Bali
yaitu di Teluk Terima. Pada hari yang
telah ditentukan, kira-kira 7 hari setelah pernikahan, rombongan yang dipimpin
oleh Ki Patih Sawunggaling dan diiringi oleh puluhan pengiring beserta I Jaya
Prana berangkat ke Teluk Terima. Perjalanan tersebut dilepas dengan sedih oleh Ni
Layon Sari. Sesampainya di Teluk terima, Ki Patih Sawunggaling menunjukkan
sepucuk surat dari Sang Prabu bahwa atas perintah Prabu untuk membunuh Jaya Prana. Ketika Jaya Prana ditusuk
dengan keris, darah keluar dengan bau harum semerbak, yang disertai dengan
tanda kebesaran seperti petir, gempa, hujan dan pelangi yang menyebabkan semua
orang yang hadir bersedih dan terharu. Setelah selesai upacara penguburan,
rombongan kembali pulang. Dalam perjalanan pulang tersebut, rombongan dibuntuti
harimau. Akhirnya terjadi bermacam-macam malapetaka, seperti ada yang diterkam
harimau, digigit ular, dan tersedak yang menyebabkan 40 orang pengiring
meninggal dunia. Sisa rombongan yang berjumlah 19 orang berhasil kembali ke
istana. Ni Layon Sari berusaha mencari informasi tentang keadaan suaminya.
Melalui salah seorang rombongan yang datang didapat informasi bahwa suaminya
telah dibunuh oleh Ki Patih Sawunggaling atas perintah Sang Prabu. Mendengar
berita tersebut, Ni Layon Sari sangat sedih. Raja berpura-pura sedih atas
kematian I Jaya Prana. Dengan dalih untuk menghibur kesedihan Ni Layon Sari,
Sang Prabu menyuruh agar ia tinggal di istana. Pada saat itulah Sang Prabu
meminta dengan sangat agar Ni Layon Sari bersedia menjadi istrinya. Lebih dari
itu, Sang Prabu bersedia untuk menyerahkan seluruh isi istana asalah Ni Layon
Sari bersedia memenuhi permintaan Sang Prabu. Ni Layon Sari menolak dengan
rendah hati semua permintaan Sang Prabu. Sebagai wujud kesetiaannya terhadap suaminya,
akhirnya Ni Layon Sari bunuh diri dengan sebuah pedang. Sang Prabu terkejut dan
meratapi jenazah Ni Layon Sari di pangkuannya. Sang Prabu lalu menjadi gelap
mata dan mengamuk lalu bunuh diri. Setelah keributan selesai, orang tua Ni
Layon Sari mengambil jenazah anaknya. Kemudian dibawa ke Banjar Sekar untuk
dikuburkan
Makam Jaya Prana di Teluk
Terima
Artikel selanjutnya :
Kemegahan
kerajaan Kalianget yang didirikan sekitar Tahun 1622 Masehi ( Caka 1544). sebagai sebuah Kerajaan kecil di belahan Bali
Utara bagian Barat cukup lama. Sampai pada akhirnya Kerajaan Kalianget itu
runtuh tanpa ada yang meneruskan ........... Bukti
sejarah yang beliau ( Raja Kalianget ) tinggalkan yang dapat di kenang oleh
masyarakat desa Kalianget atau dareah sekitarnya sampai sekarang antara lain : Diberikannya nama Kalianget yang
sampai sekarang menjadi nama desa yaitu desa Kalianget, Di galinya saluran sungai Mendaum
yang sampai sekarang mengairi persawahan di 2 kecamatan, yaitu kecamatan
Seririt dan Kecamatan Banjar, Dibangunnya
tempat-tempat pemujaan ( Pura ) yang sampai sekaranng masih berdiri kokoh serta
namanya yang abdi sepanjang masa, diantaranya : Pura Prabu. .........
Compiled By : I Dewa Putu Sedana, Drs, MBA
BACA JUGA :
BACA JUGA :
Prabu Kalianget Dinobatkan |
Babad Dalem Kaleran |
Preti Sentana Prabu Kalianget 1 |
Istilah Spiritual Dasar |
Membangkitkan Pikiran Bawah Sadar 1 |
Belum ada Komentar untuk "KISAH JAYAPRANA, MENDUNG KELABU DI LANGIT KALIANGET"
Posting Komentar