Desa Bongancina, Kecamatan
Busungbiu, Kabupaten Buleleng, terletak di ketinggian kurang lebih 900 meter
dari permukaan laut, sehingga memiliki
suhu udara yang sejuk, terletak +/- 12 km di sebelah barat Pupuan, pada
lintasan menuju Surabrata, Kecamatan Selemadeg, Tabanan. Sebelum pemerintah
Belanda mengijinkan kembali membuka hutan lindung di desa Kutul (Sebelum adanya desa Bongancina, karena Bongancina merupakan Banjar dari desa Kutul, (sekarang
Pucaksari). Sebelum tahun 1900 an, desa ini telah pernah berpenghuni. Tetapi
penduduk ketika itu tidak bisa bertahan, karena lahan pertanian mereka diserang
oleh hama semut, sehingga penduduk mengungsi ke arah timur ke desa Galiukir, Kecamatan Selemadeg ( Sekarang Kecamatan Pupuan). Hal ini terlihat dari fakta, dimana sampai beberapa tahun yang lalu
(bisa jadi sampai saat ini) bila diadakan piodalan di Pura Desa & Puseh
Bongancina, keturunan dari penduduk yang kini sudah tinggal di desa Galiukir,
datang untuk ”ngaturang bhakti” ke Pura tersebut.
Juga dari penuturan tetua-tetua desa, desa ini pernah dihuni oleh orang Tionghoa, hal ini terlihat dari penemuan penduduk berupa perhiasan, gerabah, keramik, serta daun gender kuno, di beberapa tempat. Mereka juga meninggalkan desa ini, karena tidak tahan dengan serangan hama semut . Pada prasasti Sukawana, Kintamani muncul juga nama Bungancina, Kuntul (nama desa Kutul sebelumnya yang kini bernama Pucaksari, desa disebelah desa Bongancina). Nama Bongancina diduga berasal dari kata Buungan Cina, karena penduduk Cina yang pernah bermukim disana pindah ke desa lain dan ada juga dugaan berasal dari BONGanCINA (Bong = Kuburan Cina).
Entah karena petunjuk
mimpi atau sebab lain, pernah ada seorang warga Tionghoa yang datang dari
Jakarta, untuk melihat keberadaan desa Bongancina dan Pura Ratu Patih.. Diduga
Bongancina pernah menjadi desa persinggahan, pada saat pertama kali orang
Tionghoa menginjakkan kakinya di Bali.
DIHUNI KEMBALI
Pada tanggal 7 Juli 1907 pemerintah
Belanda mengijinkan penduduk untuk membuka hutan lindung di daerah Kutul (kini desa Pucaksari), Sepang, Kecamatan Busungbiu, termasuk
pembukaan hutan di pelemahan Bongancina (waktu itu masih merupakan Banjar dari Desa
Kutul). Menghadapi beratnya medan,
binatang buas dan sulitnya menebang pohon-pohon besar dengan peralatan
seadanya, diperlukan adanya semangat persatuan, kerjasama, saling membantu, dan
semangat setia kawan diantara penduduk. Karena itu beberapa orang cikal bakal
pendiri desa Bongancina, yang tinggal dalam satu lokasi di palemahan Bongancina Tua yang terdiri dari keluarga I
Dewa Made Mayus, I Dewa Putu Kereped, I Dewa Nyoman Bajing, I Dewa Putu Darta,
I Gusti Putu Siama dan I Gusti Made Tama, berikrar :
1) Siapa yang berada di rumah, agar menjaga keluarga yang
lainnya. Siapa yang berselingkuh agar tidak menemukan keselamatan (Konon, pada
saat itu terdengar suara Guntur menggelegar).
2) Siapa yang ”nyetik” (meracun), neluh, nerangjana
(menggunakan ilmu hitam), mencelakai teman lainnya, agar tidak menemukan
keselamatan. (Pada saat itu terdengar suara burung tuu-tuu). (Kutipan dari catatan perjalanan peninggalan keluarga I Dewa Putu Kereped).
Disaat pembukaan hutan, Pura ini digunakan sebagai tempat ”ngaturang bhakti” dan tempat memohon keselamatan agar penduduk tidak mendapat halangan dalam membuka hutan. Pada masa Revolusi phisik (1945 – 1949), Pura ini juga digunakan oleh para pejuang, sebagai tempat untuk memohon perlindungan. Desa Bongancina merupakan desa basis perjuangan di daerah ”Buleleng Barat (atas)” (istilah yang digunakan untuk wilayah desa : Bongancina, Tista, Sepang dan Pucaksari) dimana Markas Besar Oemoem (MBO) Markas Cabang Kusuma Yadnya berada, yang juga mencakup pejuang desa Belatungan Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, dibawah komando: I Dewa Putu Dhanu (Pak Sundih) yang menghimpun para eksponen pejuang dari desa Bongancina dan desa di sekitarnya .
Pada saat tentara Nica dan ”gandek”nya (sebutan untuk orang pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda), melakukan pembakaran rumah penduduk di desa Bongancina tahun 1946, maka penduduk mengungsi ke Yeh Sibuh, desa Belatungan, Kecamataan Pupuan. Pembakaran rumah penduduk dibarengi juga dengan penyisiran terhadap pejuang oleh tentara Nica. Konon pada waktu itu pejuang memperoleh ”petunjuk” agar berlindung di Pura Ratu Patih yang jaraknya hanya tiga meter dari jalan raya. Entah karena kebetulan atau memang karena para pejuang memperoleh perlindungan serara ”niskala”, semua pejuang selamat pada saat penyisiran itu. Hanya saja dalam dua pertempuran yang lainnya, lima orang pejuang desa Bongancina gugur, yang kemudian oleh penduduk didirikan Tugu Perjuangan Panca Wirapati, untuk mengenang perjuangan beliau, yang diresmikan oleh Bupati Drs. Ketut Wirata Sindhu.
Para pejuang yang gugur tersebut adalah :
Pura Ratu Patih terletak di
ketinggian (munduk), sehingga pada pagi hari disaat udara cerah semua desa di
sebelah timur Bongancina, Gunung Batukaru dan Gunung Agung nampak dengan jelas.
Menginjakkan kaki di pelataran pura, terasa ada vibrasi positif terpancar di
area itu. Beberapa bulan setelah upacara pemelaspasan, ada seorang bhakta
penekun spiritual dari Denpasar, datang ke Pura tersebut. Beliau datang kesana
dituntun oleh mimpinya Beliau terkesan dengan keberadaan Pura Ratu Patih.
Pada saat persembahyangan pada waktu
bulan Purnama atau Tilem seperti yang biasa juga dilaksanakan di Pura-Pura yang
lain, masyarakat dari desa sekitar ada yang ikut menghaturkan bhakti, malahan
ada yang datang dari luar Kabutaten. Seorang penekun spiritual dari Karangasem
yang setelah lama mencari keberadaan Pura ini, juga ikut sembahyang disana.
Sedangkan paranormal kondang Ki Gendeng Pamungkas ketika lewat disebelah desa
Bongancina menyempatkan diri juga untuk melaksanakan meditasi di Pura Ratu
Patih.
Akankah dikemudian hari Pura Ratu
Patih menjadi pilihan para penekun spiritual untuk melaksanakan meditasi ?.
Astungkara.
(Catatan ini, terutama ditujukan untuk generasi
muda, agar mengetahui ceritera desa
Bongancina sebelum dan sesudah revolusi. Ada baiknya bila ada teman-teman yang lain untuk melengkapi ceritera ini,
dengan menanyakan kepada sesepuh-sesepuh desa, mumpung beliau beberapa masih
ada).
kangen saya pernah kkn di desa bongancina tahun 1996
BalasHapusPengempon Pura Ratu Patih menjadi bagian dari pelaksanaan Upacara 108 Genta. Artikelnya bisa browsing dg judul yg sama. Mksh
Hapus