Pengantar
Tulisan Raffles mengenai Bali sekitar tahun
1813 an, memberikan gambaran bagaimana
Bali pada waktu itu, meskipun apa yang disajikan belum tentu semuanya seperti
yang digambarkan. Bila Bali dilukiskan tidak seperti apa adanya, kita tidak
perlu merasa kecewa dan tidak juga perlu berbangga bila disanjung. Juga mungkin
banyak hal-hal yang ditulis Raffles tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
pada waktu itu. Cukup dimaklumi, karena seperti itulah apa yang dia dengar dari
penjelasan orang-orang yang dijumpainya, dan orang yang memberi keterangan itu, juga belum tentu paham dengan apa yang disampaikannya.
Tapi bagaimanapun juga mungkin pandangan
Raffles ini dapat dipakai untuk mulat sarira bagi krama Bali. Astungkara.
Pulau Bali
Pulau Bali
Disebelah timur Jawa terletak pulau Báli. Tempat
menarik ini menunjukkan struktur mineralogi yang sama dengan Jawa, dan
mungkin pada satu periode sebelumnya, keduanya merupakan satu pulau yang sama. Memiliki iklim yang sama
dan tanah yang sama, memiliki pegunungan, dan sungai yang cocok untuk tujuan
irigasi, serta memiliki tingkat kesuburan yang sama; namun memiliki
pantai tanpa pelabuhan atau tidak
memiliki pelabuhan yang bagus. Sehingga terlepas dari perdagangan internasional, terutama dengan
pedagang dengan kapal-kapal besar. Karena
kemerdekaan yang panjang, dan telah lama
berpijak kepada budaya mereka
sebelumnya , maka ciri-ciri yang paling mencolok dalam karakter penghuninya adalah,
dari ritus keagamaan mereka yang khas. Penduduk asli Báli, meskipun sosok
aslinya sama dengan orang-orang Jawa, tetapi
banyak hal yang menunjukkan beberapa perbedaan mencolok, tidak hanya dalam
perilaku mereka dan tingkat peradaban yang telah mereka capai, namun juga
penampilan dan tubuh mereka. Mereka berada di atas ukuran menengah Asiatik,
dan melampaui, baik tinggi maupun otot
tubuh orang Jawa maupun Malayu
Masyarakat Bali
Meskipun menganut agama
Hindu, (yang di India barat membentuk karakter Hindu yang paling lunak), mereka
masih memiliki banyak keberanian dan kehendak asli. Ketidak pedulian umum
mereka terhadap penindasan yang mereka hadapi, humor yang baik, bersama
dengan animasi dari energi superior mereka, sehingga secara alami lebih
ekspresif dibandingkan dengan gaya
masyarakat Jawa, Mereka juga aktif dan giat, dan terbebas dari ketidak berdayaan
dan ketidak pedulian yang bisa diamati pada masyarakat di Jawa. Bagi orang asing, perilaku mereka
tampak spontan, tidak biasa, kasar. Tapi setelah berkenalan lebih lama, akan
nampak kejujuran mereka yang tak
tergoyahkan dan kepercayaan serta rasa hormat timbal balik. Wanita mereka, menunjukkan
kesetaraan sempurna dengan para pria, jujur, tanpa pamrih dan tidak diwajibkan untuk
melakukan banyak pekerjaan berat dan merendahkan yang dipaksakan seperti pada wanita di Jawa. Dalam hubungan rumah
tangga mereka sopan, santun, ramah,
dan hormat. Wanita tampaknya telah
memperoleh harga diri yang relatif lebih tinggi daripada yang diperkirakan
bisa dicapai. Perilaku orang tua terhadap anak-anak mereka halus dan lembut, dan ini didukung oleh ketaatan anak yang baik. Kepada pemimpin mereka,
mereka menunjukkan penghormatan yang tinggi, sedangkan di antara mereka sendiri
mereka berdiri di atas pijakan kesetaraan. Di mata mereka Raja mereka suci, yang
menimbulkan ketaatan tanpa pamrih; tanpa menuntut atas ketundukan mereka. Karena
itu orang Eropa atau penduduk asli, terbiasa dengan sopan santun seperti orang-orang Jawa, atau dengan sopan santun
khas Melayu. Dalam seni mereka berada jauh di belakang masyarakat Jawa,
meskipun mereka tampaknya mampu maju dengan cepat. Sekarang mereka adalah
orang yang sedang naik daun. Tidak terdegradasi oleh despotisme atau
dilemahkan oleh kebiasaan kebosanan atau kemewahan., Mereka bertekad untuk lebih adil, untuk mencapai kemajuan dalam peradaban dan pemerintahan. Mereka
adalah orang–orang dengan keburukan
seperti : kemabukan, kebebasan, dan
perselingkuhan:
Menyabung Ayam
Hasrat utama mereka adalah
bertempur, berjudi dan sabung ayam. Semangat, cara hidup mereka, dan cinta
kemerdekaan mereka, membuat mereka hebat dari daerah-daerah yang lebih lemah.
Mereka kemungkinan besar berasal dari orang-orang Jawa sebelumnya. Pulau Báli
terbelah saat ini menjadi tujuh negara bagian (kerajaan) yang berbeda,
masing-masing independen dari yang lain, dan tunduk pada pemimpinnya sendiri-sendiri.
Populasi negara-negara ini diperkirakan berjumlah seluruhnya di atas delapan
ratus ribu jiwa. Perkiraan ini terbentuk dari jumlah laki-laki yang giginya
telah didaftarkan, dimana di negara-negara yang berbeda berdiri dalam jumlah
bulat sebagai berikut: Klungkung 30.000 Karang Asem 50.000 Badung 20.000 Buleleng
30.000 Tabanan 40.000 Mengwi 20.000 Gianyar 15.000 Taman Bali (sekarang
Bangli) 10.000. Jumlah seluruhnya 215.000.
|
Populasi besar ini pasti
meningkat sejak penghapusan perdagangan budak. Klungkung diakui memiliki
kedaulatan yang paling tua. Rajanya dikatakan berimigrasi dari Jawa, pada periode
saat seluruh pulau Báli mengakui kewenangan Majapahit. Bahkan mereka tetap mempertahankan bukti-bukti
martabat mereka, dan bekas-bekas pengaruh mereka sebelumnya. Di antara benda-benda
yang masih dilestarikan: keris, dan
barang-barang lainnya milik Majapáhit, sehingga raja-raja lainnya mengenalinya
dari mana mereka berasal. Orang pertama yang dikatakan telah mendirikan agama
dan pemerintahan yang masih eksis, adalah Déwa Agung Ketut (Kresna Kepakisan),
putra Rátu Brawijáya dari Majapáhit di Jawa. Penyebab berakhirnya Jawa terkait dengan
orang-orang Bali, karena : "Brawijáya
diberitahu oleh kepala Brahmána, bahwa yang tertulis dalam sebuah buku suci bahwa setelah
berakhirnya empat puluh hari tampuk pemerintahan, Rája Majapáhit akan punah. Karena itu pada saat berakhirnya tampuk
pemerintahan, Anak laki-lakinya, agar tidak terkena kutukan dari buku tersebut, dipindahkan ke
Báli dengan sejumlah pengikut, dan mendirikan otoritasnya di Klungkung,
mengambil gelar sebagai penguasa tertinggi, yang tetap memiliki jabatan turun temurun sebagai Raja Klungkung". (Dari Babad-Babad Dalem
yang ada di Bali, apa yang ditulis oleh Raffles ini, berbeda).
Pertanian.
Penduduk Báli, seperti orang
Jawa, pada prinsipnya bekerja di bidang pertanian. Pulaunya subur dan ltempatnya sangat terbatas. Beras adalah hasil utama
dari Bali. Di daerah pegunungan, pertanian mendapat kendala dalam hal pengairan, yang mengandalkan musim
hujan, karena itu lahannya diirigasi
dengan pasokan air yang melimpah dari sungai. Di beberapa tempat, seperti di
Kárang Asem, panen padi diperoleh dua
kali dalam satu tahun; tapi bagian terbesar panen hanya diperoleh satu
kali dalam setahun. Di musim kemarau, sawah ditanami jagung.
Perempuan tidak ikut bekerja, seperti di Jawa, untuk menanam padi: bantuan mereka di lapangan hanya diperlukan untuk menuai. Pemeliharaan ternak sama seperti di Jawa, dan hampir serupa. Sapi, kualitasnya sangat bagus, cocok untuk membajak sawah. Harga sepasang sapi jenis ini, umumnya sekitar enam dolar Spanyol, dan jarang melebihi delapan dolar. Harga beras biasa satu pikul/100 kg (133¼ pound Inggris), sekitar tiga per empat dari dolar Spanyol. Tanah dianggap sebagai milik pribadi, tanah ini dapat diolah atau diwariskan. Tanah dapat dijual, tanpa memerlukan persetujuan dari atasan. Pemecahan harta ini pada umumnya sangat cepat, dan cara pengukuran tanahnya tidak terlalu pasti. Ukuran lahan dinyatakan dengan jumlah benih yang dibutuhkan untuk ditanam, yang disebut tánas (ukuran sawah di Bali kini disebut sikut). Beberapa pemilik memiliki lima puluh tánas, sementara yang lain memiliki tidak lebih dari satu atau dua. Perumahan pribadi Raja Tua Buleleng tidak melebihi beberapa ratus tánas. Tapi meskipun pangeran/calon raja tidak dianggap sebagai pemilik sebenarnya dari wilayah kekuasaannya, tapi dia menerima bagian tertentu dari hasil pajak. Pajak ini dibayar dengan koin Cina kecil, disebut képeng, atau sejenisnya..
Di Permandian
Meskipun di distrik-distrik yang lebih rendah, makanan penduduk umumnya beras, di bagian yang lebih tinggi dan lebih berangin mereka pada dasarnya mengandalkan ketela rambat dan jagung. Makanan hewani utama yang mereka gunakan adalah daging babi, yang banyak ditemukan. Harga babi yang sedang tumbuh jarang melebihi satu dolar, dan hampir tidak sampai satu setengah dolar. Bangunan orang Báli, berbeda dengan bangunan orang-orang Jawa, umumnya dibangun dari dinding lumpur dan dikelilingi dengan dinding batu bata yang belum dibakar; Kota-kota utama dikatakan menyerupai kota-kota Hindu di India. Kesenian sedikit dikembangkan. Pulau ini menghasilkan kapas dengan kualitas terbaik, para wanita di sini, seperti di Jawa, adalah produsen semua kain yang digunakan oleh suami atau keluarga mereka. Ekspor utama adalah beras, sarang burung, kain kasar, benang katun, telur asin, minyak mentah, dan minyak. Impor utamanya adalah opium (yang sayangnya banyak ditakuti penduduknya), kéyu pélet, sirih, gading, emas, dan perak. Penduduk Báli tidak menyukai kehidupan pelaut, dan bertahan sebagai seorang pedagang. Pameran dan pasar, sedikit dan jarang dikunjungi. Perdagangan yang terus berjalan dengan sukses terbesar adalah perdagangan budak. Harga biasa seorang budak laki-laki adalah sepuluh sampai tiga puluh dolar, dari seorang wanita dari lima puluh sampai seratus dolar. Hal yang memalukan ini, semoga segera berakhir. Undang-undang ini masih hidup, dan diberlakukan, seperti sebelumnya.
Administrasi Pemerintahan
Karakter penduduk Báli yang paling menarik adalah cara pemerintahan
mereka, hukum adat mereka, dan sistem agamanya. Di Bali dapat dilihat jejak-jejak Hinduisme di Jawa; yang ada
diantaranya disesuaikan dengan apa yang terjadi di Báli. Di Báli tidak lebih
dari seratus atau dua ratus orang Islam.
Di Jawa kita menemukan Hinduisme hanya di tengah reruntuhan kuil. dan prasasti. Di Báli, sistem hukum, gagasan, dan cara pemujaan, merupakan cara atau prilaku dalam kehidupan, dan merupakan aturan
yang umum. Keadaan Báli sekarang dapat dianggap sebagai semacam gambaran mengenai kondisi kuno penduduk asli Jawa.
Hinduisme di sini membagi masyarakat
menjadi empat gips/kasta: 1. Brahmána,
2. Satria, 3. Wesia, dan 4. Sudra.:
Raja
Raja dibantu dalam pemerintahan internalnya oleh Kepala
Perbekel; sedangkan dalam urusan umum
pemerintahannya, pengelolaan korespondensi asing, dan pengawasan hubungan luar
negerinya, dibantu oleh seorang perwira
yang disebut Ráden Tumenggung. Sistem pemerintahan desa di sini seperti di
Jawa. Konstitusi masing-masing desa sama. Kepala desa, disebut Perbekel, dan
asistennya disebut Kelían, petugas ini
selalu dipilih dari orang-orang di desa
yang mereka tetapkan untuk memerintah. Jabatan Perbekel adalah turun temurun, jika penerusnya
mampu; dan bila terjadi kekosongan, diteruskan oleh Kelían.
Di bawah Perbekel Kepala, yang disebut Perbekel Rája, ada beberapa Perbekel Kecil, sebagai asisten petugas tersebut dalam menyampaikan perintahnya kepada Kepala Desa; dan di bawah Ráden Tumeng'gung ditempatkan sekitar seratus orang, dengan pangkat dan gelar Kelían Témpek. Banyak Perbekel desa di Buleleng memiliki gelar Gústi, yang turun temurun dalam keluarga mereka, dan yang berfungsi untuk membedakan mereka sebagai bangsawan. Perintah militer sekarang dipegang oleh seorang kepala Brahmana, yang diberi nama Rája Bángen Senapáti. Dia menerima penghormatan dan penghargaan di samping Raja sendiri.
Administrasi Peradilan.
Administrasi peradilan umumnya
dilakukan oleh pengadilan, yang terdiri dari satu Jáksa dan dua asisten: dalam
penentuan keputusan apa pun, beberapa
Brahmana dipanggil. Keputusan mereka dipandu oleh hukum tertulis, Hukum sipil
yang disebut Degáma, Hukum kriminal
disebut Agáma. Sebelum dilakukan keputusan pengadilan, tiga atau empat saksi
diminta untuk mendukung tuntutan pidana. Saksi mereka diperiksa dengan sumpah,
dan orang-orang dari masing-masing pihak berhak untuk bersumpah dan harus
diperiksa. Cara pengambilan sumpah dilaksanakan dengan cara mengucapkan kalimat,
"agar saya dan seluruh generasi saya binasa, jika yang saya katakan tidak
benar”, kemudian menahan pukulan air di
tangannya, dan setelah itu diberikan
meminum air itu. Bentuk prosedur mengharuskan jaksa penuntut atau penggugat
untuk didengar lebih dulu kesaksiannya dengan sumpah. Saksi-saksinya diperiksa
selanjutnya, kemudian tahanan atau terdakwa dan saksi-saksin terdakwa, setelah itu
pengadilan mempertimbangkan secara keseluruhan semua bukti. Tidak ada
penyiksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti. Hukuman yang biasa dijatuhkan
adalah hukuman mati, kurungan, dan perbudakan. Hukuman menurut Undang-undang,
dalam beberapa kasus, sangat berat, di lain pihak sangat ringan. Pencurian dan perampokan yang mengakibatkan
kematian, pembunuhan dan pengkhianatan dalam beberapa kasus dihukum dengan
menghancurkan anggota tubuh narapidana
dengan kapak, dan membiarkannya bertahan beberapa hari dalam penderitaan sampai
kemudian. meninggal Perzinahan dihukum
dengan hukuman mati pada pria dan perbudakan abadi kepada pelaku wanita. Semua
hukuman ini untuk memberikan efek jera. Raja harus memastikan setiap hukuman
pidana sebelum dieksekusi, dan setiap keputusan perdata yang melibatkan
perbudakan berkelompok.
Keluarga Bali
Perkawinan
Hukum adat Báli berbeda
dengan yang berlaku di Jawa sehubungan dengan perkawinan dan perceraian. Di
Báli, suami umumnya membeli istrinya dengan membayar sejumlah uang kepada orang
tuanya. Tiga puluh dolar adalah harga
biasa. Jika tidak dapat membayar jumlah ini, maka si pria menjadi pelayan di
rumah keluarga istrinya dan tinggal bersama dengan istrinya di rumah mertuanya.
Tanpa memakai teori apapun tentang sejarah sistem keagamaan Báli, atau
perbandingan dengan sistem di India, informasi berikut mungkin dianggap menarik. Penduduknya,
seperti yang dikatakan sebelumnya, terbagi menjadi empat kasta, diberi nama Brahmána,
Sátria, Wesia, dan Súdra. Brahmána terdiri dari dua kelompok, Brahmána Siwa dan
Brahmána Búdha. Yang pertama sangat dihormati, dan menahan diri untuk tidak
memakan semua makanan hewani, kecuali bebek, kambing, dan kerbau: daging babi
dan daging sapi dilarang. Keluarga Bramána Búdha makan tanpa makanan hewani.
Brahmána Siwa dikatakan tidak melakukan ibadah di kuil-kuil, hal ini diserahkan
ke kasta terendah. Brahmána dari semua golongan sangat dihormati. Brahmāna
dikatakan tidak menyembah berhala, juga tidak melakukan pemujaan di kuil, tapi
bersembahyang di rumah pribadi mereka
saja. Seorang Brahmana dapat menikahi wanita dengan kasta lebih rrendah, namun
keturunan dari perkawinan semacam itu disebut Bujángga, yang membentuk kelas
yang berbeda. Di Báli ada satu kelas orang terbuang, yang disebut Chandálas,
yang tidak diizinkan tinggal di desa; umumnya adalah pelacur, peramal, pedagang
kulit, penyuling minuman keras. Wanita penari adalah dari kasta Wesia dan Sudra. Seorang Brahmāna tidak
bisa dijadikan budak. Dia tidak bisa duduk di tanah. Kaum Budha dikatakan telah
datang pertama kali ke negara tersebut. Dari Brahmāna Siwa sembilan generasi
dikatakan telah berlalu sejak kedatangan mereka. Nama kepala negara Brahmāna
dari kasta Siwa, yang pertama kali menetap di Báli, dikatakan sebagai Wútu Ráhu
(mungkin maksudnya Wawu Rauh), dia
berasal dari Telingána (Kalingga?), dan dalam perjalanannya dikatakan telah singgah
ke Majapáhit. Raja Báli umumnya adalah dari
kasta Satria; Tapi ini tidak selalu demikian. Dari informasi yang diperoleh di
Buleleng, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Báli mengikuti pemujaan Siwa.
Kaum Budha dikatakan langka. Pengorbanan janda di tumpukan pemakaman suaminya
sering terjadi. Semua kelas bisa melakukan pengorbanan ini, tapi yang paling
umum dilakukan oleh kasta Satría. Jumlah wanita yang mengorbankan diri mereka
luar biasa. Ayah dari Raja Buleleng saat itu diikuti oleh tidak kurang dari
tujuh puluh empat wanita. Dalam kasus ini, mayatnya biasanya dipelihara selama berbulan-bulan,
bahkan selama setahun. Jenazah diawetkan dengan fumigasi, setiap hari dengan
benzoin. Mayat orang mati dibakar, kecuali pada kasus anak-anak sebelum gigi
mereka tumbuh.
Pengabenan
Daging sapi dikonsumsi oleh semua orang kecuali orang-orang Brahmāna. puasa menahan diri untuk tidak makan nasi pun dilaksanakan, dan hanya memakan umbi-umbian dan buah. Kaum Budha dikatakan sangat teliti dalam diet mereka, tidak hanya tidak memakan daging sapi, tapi juga anjing dan semua hewan lainnya. Susu tidak pernah digunakan sebagai bahan makanan. Informasi khusus yang menghormati ibadah agama orang-orang Bali ini diinformasikan kepada saya oleh Mr. Crawfurd, yang mengunjungi pulau itu pada tahun 1814. Pada tahun berikutnya saya mengunjungi Buleleng sendiri; Tapi waktunya terlalu singkat untuk mendapatkan informasi yang sangat terperinci mengenai hal menarik ini. (Tulisan Raffles berikutnya, mengenai Agama, tidak diikut sertakan, karena sangat tidak sesuai dengan kenyataan).
Semoga tulisan Raffles ini
dapat memberikan gambaran (meskipun tidak sepenuhnya benar), tentang bagaimana
orang asing melihat Bali di tahun 1813an. Semoga ada manfaatnya. Astungkara.
Alih Bahasa : IDP Sedana
BACA JUGA :
Alih Bahasa : IDP Sedana
BACA JUGA :
History of Java - Raffles 1 |
Shambala Ajaran Esoterik |
Agama Zen 1 |
Agama Shinto 1 |
Istilah Spiritual Dasar Silsilah Dhalem Gedong Artha |
Belum ada Komentar untuk "BALI DIMATA RAFFLES."
Posting Komentar