SEKTE-SEKTE DI BALI
Pada waktu
pemerintahan raja Marakata di Bali datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur,
beliaulah yang mengajarkan membuat Parahyangan atau Kahyangan dan membawa cara
tempat pemujaan seperti yang ada di Jawa Timur. Hal ini disebutkan dalam lontar
Usana Dewa. Pada awal kedatangannya di Bali, Mpu Kuturan melihat suatu
kenyataan bahwa agama Hindu yang ada pada masa itu terdiri dari sembilan sekte, Yaitu :
Mpu Kuturan
1. Siwa Siddhanta, dengan adanya karya pustaka keagamaan seperti :
Bhuanakosa, Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Mahajnana, Catur Yuga dan Widgisastra
yang semua ini mengambil ajaran dari Siwa Siddhanta. Demikian pula dengan Mudra
dan Kuta Mantra yang dipergunakan oleh para pendeta Siwa di Bali dalam
melaksanakan puja parikrama adalah bersumber pada ajaran Siwa Siddhanta.
2. Pasupata, dengan adanya pemujaan Lingga di beberapa pura yang tergolong
kuna. Jumlah lingganya cukup banyak, ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang
sempurna dan ada pula yang dibuat deengan sangat sederhana, sehingga merupakan
Lingga semua. Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan
ciri-ciri khas sekta Pasupata.
3. Bhairawa, adanyaa pemujaan Siwa dalam wujudnya yang sangat hebat dan
mengerikan yang disebut dengan nama
Dhurga. Sekta Bhairawa sering pula disebut dengan nama Tantrisme kiri Wamaskta.
Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyebutkan Tantrisme kiri adalah
Prawrti marga sebutan untuk membedakan dengan Tantrisme kanan yang disebut
Niwerti marga. Pemujaan Durgha di Bali juga dapat dilihat pada mantra
Durgastawa, yang juga digunakan oleh para pendeta di Bali. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi
Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada
di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula
pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte
Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang
mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran
Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang
hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
4. Waisnawa, jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu mengenai
pemujaan terhadap Dewi Sri. Pemujaan terhadap Dewi Sri demikian besarnya di
Bali, karena Dewi ini dipandang sebagai Dewi pemberi rejeki, pemberi
kesejahteraan, kemakmuran, dan pemberi kebahagiaan. Dikalangan para petani di
Bali. Demikian pula adanya cerita-cerita mengenai Awatara Wisnu ke dunia untuk
menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat dominasi adharma, sangat populer di
Bali. Semua data-data ini membuktikan ada dan berkembangnya sekte Waisnawa di
Bali. Waisnawa Sampradaya memiliki peninggalan dalam tradisi adalah pemujaan
kepada Dewi Sri sebagai Dewi kemakmuran. Sri adalah sakti dari Dewa Wisnu
sedang Wisnu diyakini sebagai pemelihara alam semesta yang dikaitkan pula
dengan pura puseh ( dipuja melalui pura puseh ) , Pura Ulun sui/bedugul
dimaksudkan pula untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi utamanya
sebagai Sang Hyang Wisnu.
5. Bodha (Sagatha), adanya penemuan mantra Buddha tipe Ye te mantra dalam
materai yang terbuat dari tanah liat dan tersimpan dalam stupika. Stupika
seperti ini banyak di dapati di daerah Pejeng, kabupaten Gianyar. Menurut
peneliti para ahli purbakala, mantra Buddha Mahayana diperkirakan sudah ada di
Bali pada abad ke 9 masehi. Adanya arca Boddhisatwa di pura Genurua Bedahulu,
arca Buddha di Gua Gajah, arca Boddhisatwa Padmapatni di pura Galang Sanja
Pejeng dan di tempat lainnya lagi, sudah cukup memberikan bukti adanya sekta
Buddha di Bali pada jaman yang silam. Disamping itu dalam beberapa prasasti
Bali Kuna, banyak dijumpai keterangan tentang adanya Bhiksu atau pendeta Buddha
di Bali yang memakai gelar Dang Upadhyaya.
6. Brahmana, Adanya sekta Brahmana yang menurut penelitian para ahli
purbakala seluruhnya telah luluh dengan sekta Siwa Siddhanta. Di India sekta
Brahmana disebut dengan nama Smarta, tetapi sebutan ini tidak dikenal di Bali.
Adanya kitab-kitab Sasana Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang
bersumberkan Manawadharmasastra merupakan produk dari sekta Brahmana.
7. Resi, disebutkan kelompok ini senang melaksanakan pertapaan di
tempat-tempat yang dipandang suci seperti di gunung-gunung, di goa-goa dan
sebagainya. Terhadap sekta ini DR. R. Goris memberi suatu uraian dengan
menunjukkan suatu kenyataan bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan
berasal dari wamsa Brahmana. Beliau menghubungkan istilah Rsi di Bali untuk
seorang Dwijati dari wamsa Ksatria, dengan sebutan Dewarsi atau Rajarsi.
8. Sora (Surya), dibuktikan dengan adanya pemujaan terhadap Dewa Surya
sebagai dewa yang utama. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana
dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam adalah ciri penganut
sekta Sora. Selain itu yang lebih jelas lagi adalah setiap upacara agama di
Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap dewa Surya sebagai dewa yang memberikan
suatu persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya.
9. Ganapatya., kelompok pemuja Dewa Ganesha , yang keberadaannya terbukti
dengan banyaknya didapatkan arca Ganesha, baik dalam wujud besar maupun kecil.
Arca h itu ada yang terbuat dari batu padas dan ada pula yang terbuat dari
logam yang tersimpan di Bali. Fungsi arca Ganesha adalah sebagai Wignagna yaitu
penghalang segala gangguan. Sehubungan dengan itu pada umumnya arca Ganesha
diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha
dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan.
Akibatnya, patung Ganesha itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus,
melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
Kesemua jenis sekta
ini merupakan unsur yang membangun Siwa Siddhanta. Hal ini dapat dilihat dari
jenis upacara yang dilakukan yang merangkul semua jenis sekta itu, contohnya
ajaran sekta bhairawa terlihat dalam sarana yang digunakan yang berupa arak
berem, tabuh rah. Kemudian pemakaian dupa yang merupakan ajaran dari sekta
brahma.
SIWA (SAIVA) SIDDHANTA
Ajaran ini
merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita
temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga),
Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran
Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.
Dalam realisasinya,
tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan
dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan
Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah
demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian,
Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani
orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan
Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan
pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.
Maha Rsi
Agastya
Sekta Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.
Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.
Danghyang Nirarta
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau
pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali
antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan
oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Sumber :
Pada artikel terakhir.
Compiled
: I Dewa Putu Sedana
BACA JUGA :
Pokok-Pokok Ajaran Siwa Sidhanta (3) |
Shambala Ajaran Esoterik |
Tubuh Manusia dan Latihan Spiritual |
Vibrasi Warna Tubuh 1 |
Belum ada Komentar untuk "SEKTE AGAMA HINDU DI BALI - 2"
Posting Komentar