HEWAN
UNTUK YADNYA
Ada
kalanya kita mendapat pertanyaan, apakah boleh hewan dibunuh untuk
dipersembahkan sebagai yadnya dalam ritual Agama Hindu?. Pertanyaan ini muncul
beberapa tahun terakhir, sesuatu yang tak pernah ditanyakan di masa lalu.
Pertanyaan muncul karena ada “sampredaya dalam Hindu” yang ketat dalam
melaksanakan prinsip ahimsa
(tak boleh menyakiti apalagi membunuh) yang disertai pula prinsip vegetarian
yang kuat. Dengan prinsip seperti itu maka semua persembahan kepada Tuhan tidak
memakai daging. Apakah itu yang benar atau apakah membunuh hewan untuk korban
itu yang benar, ajaran Hindu tak memberikan pembenaran yang absolut. Beragama
itu berdasarkan “rasa hati” yang tentu saja pijakannya adalah keyakinan.
Setelah itu baru keiklhasan dan ketulusan.
Mebanten
Dalam
lontar Sunarigama disebutkan ada dua cara untuk melakukan ritual. Pertama
dengan menghaturkan sesajen (banten), terutama bagi masyarakat umum. Yang kedua
dengan tapa brata yoga samadhi,
terutama untuk mereka yang sudah mencapai tingkat kerohanian tertentu dan “wruh
ring tattajnana”. Sama-sama dengan tujuan mencapai suatu kesucian, baik suci
lahir dan batin maupun suci pada lingkungan.
Bagi
yang menggunakan sesajen memang diperbolehkan mempersembahkan segala hasil bumi
termasuk hewan peliharaan. Justru hasil bumi dan hewan yang dipakai persembahan
itu akan tumbuh semakin baik dan hewan yang dibunuh akan “lahir kembali” dalam
status yang lebih tinggi dari keadaan semula. Ini juga disebutkan dalam sloka
Manawa Dharmasastra V.40. Bunyinya: “Osadyah pasawa wriksastir, yancah pakhanam praptah,
yajnartham nidhanam praptah, praapnu wantyutsritih punah”.
Terjemahannya: Tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, ternak, burung lainnya yang
telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada
kelahirannya yang akan datang.
Tawur Kesanga
Karena
korban itu adalah “penyucian” maka buah yang dipetik dari pohonnya untuk
persembahan akan membuat pohon itu berlipat buahnya pada musim selanjutnya. Dan
hewan, termasuk burung dan ikan, akan menjadi “suci” sehingga pada kelahirannya
kelak, statusnya lebih baik dari semula.
Dalam
ritual Hindu di Bali pada tingkat caru
yang lebih besar dengan menggunakan banyak binatang, ada upacara yang disebut mepepada.
Ini adalah ritual untuk membuat hewan itu “suci” sebelum dijadikan korban.
Pendeta yang memimpin ritual akan memberikan doa-doa sesuai dengan wujud hewan
itu, apakah berkaki dua atau empat, apakah burung atau ikan dan seterusnya.
Inti doa adalah agar roh hewan itu “menghadap” pada dewa sesuai dengan yang
telah digariskan arahnya dan jika kemudian lahir kembali akan menjadi manusia,
bukan lagi binatang. Hewan itu kemudian diberikan busana (dililitkan kain) di
bawa berkeliling di tempat upacara sesuai putaran jarum jam, diperciki tirta
(air suci) dan seterusnya disembelih dengan “penuh kasih sayang tanpa
kebencian”. Begitu aturannya, bahwa pelaksanaannya mungkin tak terasa ada
“kasih sayang” saat menyembelih itu soal lain. Dalam sloka Manawa Dharmasastra
sebelumnya (MD V.39) sudah ditegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan hewan-hewan
untuk tujuan upacara korban dan korban ini sudah diatur sedemikian rupa untuk
kebaikan seluruh bumi dan isinya. Dengan begitu unsur ahimsa tidak berlaku di
sini karena baik hewan korban maupun umat yang beryadnya sama-sama untuk
mencapai kesucian dalam ritual itu.
Bagaimana
dengan pantangan makan daging? Jika hewan yang disembelih itu untuk yadnya yang
berarti sudah dilaksanakan “penyucian” maka dagingnya pun tak masalah untuk
disantap. Tapi untuk hal ini terjadi silang pendapat karena sumber sastra pun
ada banyak. Manawa Dharmasastra sloka V.33 menyebutkan bahwa seorang dwijati
(pendeta) haruslah tidak makan daging. Namun disebutkan “jika memakannya tidak
bertentangan dengan aturan”. Nah ini sering dijadikan pembenar, karena hewan
yang disembelih “sesuai dengan aturan” maka dagingnya bisa dimakan. Itu
sebabnya pendeta Hindu di Bali tak semuanya vegetarian, ada yang masih makan
daging tapi terbatas, misalnya, hanya daging bebek.
Tak
ada santapan tanpa persembahan. Itulah yang lazim berlaku di Pulau Dewata.
Makanan yang disantap manusia selalu merupakan sebagian dari sesaji yang
sebelumnya dipersembahkan kepada para dewata. Penuh berkah.. Itulah cara
seluruh penduduk Bali yang memeluk Hindu mengucapkan rasa syukur atas karunia
dan berkah semesta pada hidup. Isi saiban disisihkan dari makanan yang dimasak
pada hari itu sebelum disantap seluruh anggota keluarga. ”Dapur mewakili api
dan sumur adalah air, halaman adalah tanah tempat tanaman tumbuh, semuanya
telah memberi kita berkah. Dalam konsepsi Hindu-Bali, makanan pertama-tama harus
dipersembahkan kepada dewata yang menguasai kehidupan manusia dan alam semesta.
Dengan demikian, manusia mengonsumsi makanan yang penuh berkah dari dewata.
”Tanpa mempersembahkannya terlebih dahulu kepada dewata, sama saja dengan
menikmati sesuatu dari alam dengan cara mencuri,” Itu sebabnya, antropolog
Clifford Geertz menjuluki Bali sebagai negara teater karena simbol-simbol
kekuasaan dan status diperlihatkan. Michel Pikard (2006) menyebutkan, setiap
daerah di Bali mendapatkan kadar pengaruh Hindu-Jawa yang berbeda-beda sehingga
terbentuk ruang sosial yang heterogen di masing-masing desa. Apa pun
persembahannya, Acharyananda melihat semua yang ada di alam adalah refleksi
Tuhan. Oleh sebab itu, semuanya layak untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Daging
itik persembahan, misalnya, tidak bisa dipandang sebagai seonggok daging
semata, melainkan simbol kebijaksanaan. ”Orang mempersembahkan anjing, yang
diambil sebenarnya sifat kesetiaannya, ayam kedinamisannya, dan kambing sifat
ketaat-asasannya,” ucapnya.
Saiban
Kadek
Satria, S.Ag, M.Pd.H menjelaskan bahwa daging babi adalah sebuah simbol dari
persembahan kepada Dewi Durga sebagai penguasa tantra bhairawa.
“Salah
satu hewan yang dipotong saat penampahan Galungan adalah babi. Kenapa? Karena Galungan sesungguhnya adalah
pemujaan kepada Dewi Durga,”.
Babi
ini adalah simbol pemujaan bagi pemuja Durga Bhairawa karena selalu identik
dengan persembahan yang berkaitan dengan paham Tantrayana. Sementara bagi paham
Siwa Sidantha dengan konsep Tantrayana sendiri sangat erat kaitannya dengan
daging babi. Seperti misalnya dalam bebanten yang terbuat dari daging babi dalam bentuk bebanten Gelar
Sanga, Bebangkit berisi guling babi, Sate Renteng yang berbentuk senjata Dewata
Nawa Sanga yang semuanya berbahan dasar daging babi.
Bebanten
yang berbahan dasar daging babi ini semua ditunjukan kepada Bhatari Durga, baik
dalam upacara apapun yang menggunakan bebanten ini sebagai persembahannya.
(SB-Skb)
Menurut ajaran
Agama Hindu, manusia memiliki tiga sifat utama atau yang lebih dikenal dengan
Tri Guna, Sattwam, Rajas, Tamas. Sattwam adalah kebijaksanaan, Rajas adalah
hawa nafsu atau keserakahan, dan Tamas adalah kemalasan. Sattwam disimbolkan
dengan bebek, karena kemampuannya menyaring makanan di tengah kotornya lumpur.
Seseorang yang memiliki sifat satwam yang dominan mampu menyaring
pengaruh-pengaruh positif dalam bergaul dan menyampingan pengaruh yang negatif.
Rajas (sifat raja)
disimbolkan dengan ayam, karena ayam akan selalu mencari kekuasaan dan tidak
akan pernah merasa puas dengan dirinya. Begitu juga orang yang mempunyai sifat
rajas yang dominan. Ia akan terus menerus berusaha untuk mendapatkan target
yang diinginkan. Jika gagal, ia akan terus mencoba dan tidak mengenal putus
asa.
Tamas disimbolkan
dengan babi, karena babi itu malas, rakus, doyan tidur. Saking rakusnya kalau
tak ada makanan dia akan memakan kotorannya sendiri. Manusia yang memiliki
sifat tamas yang dominan akan cenderung tidak mau bekerja keras, “maunya enak
aja”, dan loba.
Menjelang Nyepi di Jawa Tengah
Pada saat
penampahan Galungan kita memotong (membunuh) babi. Kita membunuh sifat-sifat
tamas yang ada dalam diri kita dan dagingnya kita makan. Setiap sesuatu yang
buruk pasti menyimpan kebaikan tersendiri, begitu juga daging babi. Bukankah daging
babi itu enak jika sudah matang? Itulah sisi positifnya. Kita juga sebagai
manusia dengan sifat sattwam yang dominan mampu menyaring keburukan dan
kebaikan pada babi.
SUMBER :
1. Budi Suwarna dan Putu Fajar Arcana, Sembah dan
Berkah di Tanah Dewata Kompas.com
2. IBG Budayoga, S Ag, Msi,Kalender Pasraman Yogadhiparamaguhya 2009,
3. Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, Hewan yang Dibunuh untuk Yadnya
4. Kompas.com, Artikel Agama Hindu, Tentang Siwa Sidhanta
5. Mpujayaprema, Bali Kasogatan, Siwa
Siddhanta
6. Mpujayaprema, Galungan Kenapa “Nampah” Babi?, SULUH BALI
Compiled
: I Dewa Putu Sedana
BACA JUGA
BACA JUGA
Tubuh Manusia dan Latihan Spiritual |
Misteri Jembatan Ramayana |
Agama Bahai Aliran Sesat |
Misteri Roh 1 |
Belum ada Komentar untuk "HEWAN UNTUK YADNYA - 4"
Posting Komentar