PRASASTI BLANJONG
Blanjong berasal dari dua kata, yakni
belahan dan ngenjung. Belahan
berarti pecahan, sedangkan ngenjung adalah istilah dalam Bahasa Bali Alus yang
berarti kapal nelayan.Berawal ketika pecahan kapal Belanda terdampar
pertama kali di pesisir Sanur, yang tepatnya kini di pesisir Blanjong.
Peristiwa inilah yang menjadi awal sejarah nama Blanjong.Blanjong adalah nama
daerah di Desa Intaran, Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Bali. Di daerah ini
juga ditemukan Prasasti Pilar tepatnya di dekat Banjar Blanjong. Kemudian
prasasti tersebut diberi nama Prasasti Blanjong.
“Prasasti
Blanjong melambangkan tugu kemenangan,” dan merupakan tonggak kemenangan ketika Sri Kesari
Warmadewa memimpin Bali.Uniknya, Prasasti Blanjong memakai bahasa bilingual
yakni Bahasa Bali Kuno yang ditulis dengan huruf Pra–Nagari (huruf India),serta
Bahasa Sansekerta yang ditulis menggunakan huruf Kawi, Tarikh candrasangkala-nya berbunyi Khecarawahni-Murti artinya
836 Saka (914 M).Dalam prasasti tersebut, tertulis: “Pada tahun 835 çaka
Bulan Phalguna, seorang raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru
dunia beristana di Keraton Sanghadwala, bernama Çri Kesari telah mengalahkan
musuh-musuhnya di Gurun dan di Swal. Inilah yang harus diketahui sampai
kemudian hari.”Prasasti Bali yang tertua
berangka 804 Saka (882 M) mengenai: pemberian izin kepada para biksu dan
pendeta agama Buddha untuk membuat pertapaan di bukit Cintamani. Prasasti
berangka 818 Saka (896 M) dan 883 Saka (911 M) mengenai: tempat suci dan tidak
menyebutkan nama raja;
Prasasti
Blanjong dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari
Warmadewa.Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan
untuk Pulau Bali.Dalam pemeliharannya Prasasti Blanjong sempat mengalami
pemugaran beberapa kali. Prasasti dengan tinggi 177 cm dan diameter 62 cm ini,
menarik wisatawan asing dan domestik untuk mengunjungi jejak–jejak sejarah
Bali Kuno.Prasasti Blanjong kini ditempatkan pada sebuah lemari besar yang terbuat
dari kaca.Bertujuan agar prasasti tersebut dapat dilihat dari luar dengan
leluasa.Tetapi tak banyak orang yang boleh masuk ke dalam lemari kaca tersebut.
Hanya sang juru kunci yang memiliki wewenang. Terlihat pula masyarakat setempat
yang sedang menghaturkan sesaji berupa canang sari (salah satu jenis persembahan
masyarakat Hindu-red) untuk menghormati prasasti tersebut.
Kini
jejak–jejak pemerintahan Sri Kesari Warmadewa ini sudah terawat cukup
apik.Dilindungi pula oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Wilayah Kerja
Provinsi Bali, NTB dan NTT.Tepat di sebelah kiri lemari kaca terdapat sebuah
meja yang di atasnya tampak sebuah buku kunjungan serta sebuah buku yang
menerangkan tentang isi dari Prasasti Blanjong tersebut.Sebenarnya, Prasasti
Blanjong berada pada sebuah lingkungan pura.Pura tersebut bernama Pura
Blanjong. Selain Prasasti Blanjong, di pura tersebut juga dapat ditemukan
beberapa arca peninggalan dari pemerintahan Sri Kesari Warmadewa.
DINASTI
WARMADEWA
Dinasti
Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa.Menurut riwayat lisan
turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10.Namanya disebut-sebut dalam
prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai raja Bali pertama yang
disebut dalam catatan tertulis.Menurut prasasti ini, Sri Kesari adalah penganut
Buddha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk memerintah Bali.Dinasti inilah
yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa Kerajaan Medang periode Jawa Timur
pada abad ke-10 hingga ke-11.
Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu
Badan Penasihat Pusat.Dalam prasasti tertua bertarikh 882 – 914 M diketahui,
badan ini disebut dengan istilah “panglapuan“.Sejak
zaman Udayana, badan ini disebut dengan istilah “pakiran-kiran i jro makabaihan”.Anggotanya terdiri atas
beberapa orang Senapati dan Pendeta Siwa dan Buddha.
Wangsa Warmadewa
Raja-raja anggota Wangsa Warmadewa:
1. Berdasarkan Prasasti Blanjong yang
ditulis pada tahun 914 Masehi, Raja Bali pertama kali adalah Raja Khesari
Warmadewa ( 914). Sri Ugrasena, yang memerintah pada tahun 915-942 dengan istananya yang
berada di Singhamandawa. Sang Ratu Sri Ugrasena ini telah meninggalkan sembilan
prasasti yang berisi pembebasan pajak pada daerah-daerah tertentu dan
pembangunan tempat-tempat suci.Kerajaan
Singhamandawa terdapat di Sukawana.Pada masa tersebut diceritakan ada
persaingan antara Ugrasena dengan Sri Kasari Warmadewa.Sri Kasari Warmadewa
akhirnya memindahkan pusat pemerintahanya ke Pejeng.Persaingan Sri Kasari
Warmadewa – Ugrasena mungkin sekali berubah menjadi kerjasama, apakah melalui
perkawinan atau hal lain. Setelah Sang Ratu wafat, penggantinya adalah
raja-raja yang memiliki gelar Warmadewa, seperti Sang Ratu Ajiabanendra
Warmadewa yang memerintah pada tahun 955-967
2.
Setelah berakhirnya masa Sri Ratu Ugrasena, Sang Raja
Aji Tabanendra Warmadewa kemudian menjadi raja di Bali.
(943 - 961 M). Ia berasal dari Wangsa Warmadewa, keturunan Dalem Sri Kasari. Ratu Aji
Tabanendra Warmadewa ini memerintah selama 12 tahun (955-967 M), dan bergelar
Sri Candrabhaya Singhawarmadewa atau Indra Jayasingha Warmadewa. Ia memerintah
bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Warmadewi, yang mendirikan
pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada 960 M. Semasa pemerintahannya, Ratu
Tabanendra Warmadewa memperkenankan pendeta Siwa mendirikan pertapaan di Air
Madatu, tempat dimakamkannya Sang Ratu Ugrasena (situasi ini mirip di Jawa pada
masa Kerajaan Mataram.
3. Sri Candrabhaya Singhawarmadewa atau Indra Jayasingha
Warmadewa. (962 – 975 M). Ia memerintah bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri
Subhadrika Warmadewi, yang mendirikan pemandian Tirta Empul Tampaksiring pada
960 M.
4. Sri Janasadhu Warmadewa ( 975
- 983 M)
5. Pada tahun 983 muncullah seorang raja
wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983
- 989 M).
6. Sri
Dharma Udayana Warmadewa, raja dari keturunan Warmadewa (989
- 910 M), Dharma Udayana
Warmadewa mempunyai seorang istri yang bernama Gunapriya Dharmapatni atau lebih
dikenal dengan nama Mahendrdatta, seorang putri dari Raja Makutawangsawardhana
dari Jawa Timur. Setelah adanya pernikahan tersebut, pengaruh kebudayaan Jawa-Bali kian berkembang
pesat. Misalnya saja bahasa Jawa Kuno mulai digunakan untuk penulisan prasasti
dan pembentukan dewan penasehat seperti di kerajaan-kerajaan Jawa. memiliki
tiga putra, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak,
Airlangga akan menjadi raja terbesar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.
Menurut prasasti yang terdapat di pura Batu Madeg, Raja Udayana menjalin
hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan
karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu
Sindok. Pada masa pemerintahan Udayana,
datang Mpu Kuturan yang melakukan perubahan terhadap agama Hindu dengan
menyatukan sembilan sekte di Bali menjadi Tri Murti, dan agama yang disepakati
pun adalah agama Siwa-Buddha.Sebelum menjadi raja, Udayana pernah pergi ke Jawa
Timur untuk mempersiapkan diri menjadi raja dengan mendirikan pemandian
Jalatunda pada 987 M. Masa pemerintahan Sri Udayana adalah masa kejayaan
keturunan Warmadewa di Bali.Beliau mempersunting putri dari Jawa Timur,
Mahendradatta Gunaprya Dharmapatni, putri raja Kerajaan Watu Galuh, Sri Makuta
Wangsa Wardhana.Saudara Mahendradatta adalah Sri Dharmawangsa Teguh
Anantawikrama Tunggadewa, yang menggantikan ayahnya menjadi raja Watu Galuh.
7. Airlangga (991-1049,
penguasa Kerajaan Kahuripan). Airlangga tidak memerintah di Bali,
namun di Jawa Timur. Namun kedua anaknya mampu melanjutkan menjadi raja hingga
tahun 1077. Dan pada tahun inilah Dinasti Warmadewa mulai berakhir dan
digantikan oleh dinasti lain.
8. Kedudukan Raja Udayana digantikan
putranya, yaitu Shri Wardhana Marakata
Pangkaja(1011- 1025 M).
9. Pemerintahan Marakata Pangkaja
digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu (1049-1077 M). Anak Wungsu merupakan raja terbesar
dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan
menanggulangi berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar kerajaan.Sejak 1088 M, kekuasaan di Bali dijalankan oleh
putri Sri Anak Wungsu yaitu Ratu Sakalindhu Kirana (1088-1101 M), dengan
gelar Paduka Sri Maharaja Sri Sakalindu Kirana Sana Guna
Dharma Laksmi Dhara Wijaya Utunggadewiatau Paduka Sri Maharaja Gon Karunia Pwa Swabhawa Paduka Sri Saksatnira
Harimurti Jagatpalaka Nityasa.Ia merupakan raja wanita pertama di
Bali. Dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu, disebut-sebut beberapa
jenis seni yang ada pada waktu itu.Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak
Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu
seni keraton dan seni rakyat.Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti
bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini
dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni
keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.Dinasti Warmadewa yang
diperintah oleh Anak Wungsu.Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata
pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065
M.Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng
sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa…” Artinya, andai kata ada saudagar dari
seberang yang datang dengan jukung bahitra berlabuh di manasa…”
10. Dari istri yang
lain, Udayana memiliki dua orang anak, Sri Suradhipa, menjadi raja pada
1101-1119
11. Sri Jayasakti yang
melanjutkan roda pemerintahan (1119-1150 M). Sejak saat itu tidak banyak
perubahan dalam sejarah kerajaan di Bali, pergantian raja terus berganti
seiring dengan berjalannya waktu.
12. Ranggajaya (1155 - ?
13. Jayapangus (memerintah
1177-1184)
PRASASTI
Setidaknya, ada empat buah prasasti yang berkaitan dengan
keberadaan kerajaan-kerajaan di Bali, yakni:
1.
Prasasti Bali yang tertua berangka 804 Saka (882 M);
isinya mengenai pemberian izin kepada para biksu dan pendeta agama Buddha untuk
membuat pertapaan di bukit Cintamani;
2.
Prasasti berangka tahun 818 Saka (896 M) dan 883 Saka (911
M); isinya mengenai tempat suci dan tidak menyebutkan nama raja.
3.
Prasasti yang ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur.
Permukaan prasasti ditulis sebagian dengan huruf Nagari (huruf India) dan
sebagian dengan huruf Bali kuno, sedangkan bahasanya Sansekerta. Angka berupa
candrasangkala, berbunyi “Khecarawahni-Murti”,
artinya tahun 836 Saka (914 M);
4. Prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, hanya menerangkan
bahwa Bali pernah dikuasai Singasari pada abad ke-10 dan Majapahit abad ke-14.
Prasasti Blanjong
KEPERCAYAAN
Pengaruh kepercayaan zaman prasejarah, terutama masa
Neolitik, masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititik beratkan kepada
pemujaan roh nenek moyang yang disimbolkan dalam wujud bangunan pemujaan berupa
teras piramid atau bangunan berundak-undak.Kadang-kadang di atas bangunan
ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang
mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan
punden berundak-undak.Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang
berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan
masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu.
Pada masa permulaan hingga masa Raja Sri Wijaya Mahadewi
tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat
diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh
biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan
hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru
pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama
besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu Siwa dan Buddha. Keterangan ini
diperoleh dari prasasti-prasasti yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa – Buddha)
sebagai pembantu raja.
PENINGGALAN
KERAJAAN BALIAGA
Pura
Tirta Empul. Pura tersebut terletak di daerah Tampaksiring Bali dibangun pada
tahun 967 M oleh raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura ini, digunakan beliau
untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi. Penamaan
Pura Tirta Empul diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang
bernama Tirta Empul. Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan.
Pura Penegil Dharma, Pura Penegil Dharma didirikan dimulai pada 915 M.
Keberadaan pura ini berkaitan dengan sejarah panjang Ugrasena, salah seorang
anggota keluarga Raja Mataram I dan kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali
Pura Tirta Empul
Arca
yang paling populer adalah Arca Ganesha yang kini disimpan di areal Pura
Blanjong. Sedangkan arca lain hanya bersifat fragmatis dikarenakan
penggambarannya kurang jelas dan yang tersisa hanya beberapa bagian. Sementara
arca lain, seperti Arca Perwujudan yang kini sudah dipindahkan ke Museum Bali
menggambarkan seorang Dewi yang berdiri tegak dengan bentuk wajah bulat telur,
mengenakan mahkota yang bertingkat, serta perhiasan seperti anting dan kalung.
Diduga arca ini adalah perwujudan dari permaisuri Sri Kesari Warmadewa.
Setali
tiga uang dengan Arca Perwujudan, Arca Terakota dan Arca Binatang kini juga
disimpan di Museum Bali dengan kode yang terpisah.
BACA JUGA :
|
Belum ada Komentar untuk "DINASTI WARMADEWA PADA MASA KERAJAAN BALI AGA"
Posting Komentar