Pada
tahun 1342 Majapahit mengultimatum Kerajaan Bedahulu untuk tunduk dibawah
Kemaharajaan Majapahit. Terang saja
ultimatum tersebut ditolak oleh Raja Bedahulu, karena baginya Majapahit itu
merupakan kerajaan yang baru berdiri kemaren sore, sementara Kerajaan Bedahulu
adalah kerajaan tua yang sudah berdiri sejak abad ke 8 masehi, wilayahnya
membentang dari ujung barat sampai ujung timur Pulau Bali, bahkan pulau-pulau
sekitarnya seprti Lombok dan Timor menjadi jangkauan kekuasaanya.
Nama istilah kerajaan Bedahulu atau Bedulu berasal dari
sikap politik propaganda ekspansi Gajah Mada pada abad ke 14 Masehi. Sri Asta
Asura Ratna Bhumi Banten yang memerintah dari 1337-1343 M, disebut juga Dalem
Sri Bedahulu. Ia merupakan raja dinasti Warmadewa terakhir di Bali, karena
sejak 1343, Bali ditaklukkan oleh Majapahit, di mana prajurit Majapahit yang
menyerang Bali berada di bawah pimpinan Sang Adityawarman dan Gajah Mada.
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan saat Bali
diperintah Raja Astasura Ratna Bhumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada
memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa
orang arya. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, kemudian dilakukan penyerangan yang mengakibatkan terjadinya pertempuran antara
pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja
Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan
pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Aji Kresna Kapaksian
untuk memimpin pemerintahan di Bali.
PENINGGALAN
KERAJAAN BEDAHULU
Keberadaan
Kerajaan Bali Kuno ini juga dikuatkan dengan peninggalan arca-arca kuno yang
diletakkan dalam lingkungan pura di Pejeng yang dilindungi oleh masyarakat
sampai sekarang, Misalnya saja, Arca Bhairawa di Pura Kebo
Edan, Arca Ratu Mecaling di Pura Pusering Jagat (Pura Tasik),
Pura Manik Galag (Pura Manik Corong) sebagai Pura Sad Kahyangan atau setananya Bhatara
Manik Galang dan Pura Penataran Sasih.
Penemuan
fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng juga mengungkap sejarah dan
perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M. Penelitian ahli
purbakala, Dr. R. Goris, yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa Raja Dharma Udayana terapat sembilan sekte agama
dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: Siva Siddhanta,
Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan
Ganapatya. Ke-sembilan sekte itu kemudian dikristalisasi oleh Senapati Mpu
Rajakerta yang lebih dikenal sebagai Mpu Kuturan, dalam bentuk pemujaan kepada
Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman (Desa Adat Bali) hingga
kini. Penyatuan sekte-sekte itu dipercaya terjadi di Pura Samuan Tiga, Pejeng.
Pura
Penataran Sasih, Pejeng
Beberapa
objek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain
adalah Pura
Jero Agung, Pura Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal. Berdasarkan temuan kepurbakalaan tersebut di atas, dapat
diketahui, bahwa Pura Goa Gajah berasal dari abad 9 dan 11 M. Yang dahulu kala berfungsi sebagai
tempat pertapaan Bhiksu Buddha dan Pendeta Siwa. Kekunoan ini juga
menunjukkan penyatuan ajaran agama Buddha dan Siwa berlangsung dengan baik.
Nama
Pejeng mulai dikenal sejak tahun 1705, melalui laporan naturalis Belanda Georg
Everhard Rumphius,
berjudul Amboinsche Reteitkamer. Dalam laporan tersebut, Rumphius
menyebut keberadaan genderang (nekara) berbahan perunggu yang kemudian hari
disebut Bulan Pejeng. Rumphius sendiri belum pernah melihat benda
tersebut. Dia mendapat informasi dari
orang lain yang menyatakan bahwa di Pejeng ada benda misterius dari perunggu. Benda ini
dianggap meteorit dan bidang pukulnya yang bulat dianggap sebagai bulatan roda.
Rumphius menulis, benda ini semula tergeletak di tanah, tidak seorang pun yang
berani memindahkan karena takut mendapat celaka. Inventarisasi kepurbakalaan
yang dilakukan Oudheidkundige Dienst (OD) atau Jawatan
Purbakala Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Balai
Kepurbakalaan Indonesia, menemukan kenyataan Desa Pejeng memiliki peninggalan arkeologis
yang amat beragam dan tersebar hampir di seluruh pelosok desa.
Nekara (Bulan) Pejeng memiliki
bentuk simetris. Bentuknya terdiri atas
tiga bagian: kepala atau timpani dibagian atas, laras tengah tempat pegangan
terpasang, dan alasnya. Perbedaan desain antara nekara Pejeng dan nekara Dong
Son bahwa timpanum sebuah nekara Pejeng
menonjol kurang lebih 25 cm keluar tubuhnya. Timpanum ini dicor secara
terpisah dari badan nekara Pejeng, perbedaan lain antara nekara Pejeng dengan
nekara Dong Son. Nekara Pejeng dibuat dengan cara pencetakan lilin-hilang. Model lilin benbentuk nekara diletakkan
didalam sebuah inti tanah liat yang berlubang. Bentuk-bentuk figur binatang
atau manusia yang sudah dibakukan dicetak kedalam lilin menggunakan cetakan
batu. Cetakan pola-pola geometris ini dicetak di bagian timpanum dan di bagian
samping atas nekara Pejeng.
Bulan Pejeng yang
kini disimpan di Pura Penataran Sasih adalah nekara terbesar yang pernah
ditemukan di Indonesia: tinggi 186,5 cm dan garis tengah bidang pukul
160 cm. Nekara bertipe moko ini dalam perkembangan lebih lanjut menjadi
model pertama untuk semua jenis moko yang kini banyak dijumpai di wilayah
Indonesia lainnya dalam ukuran lebih kecil. Nama Nekara dikenal dalam
beberapa bahasa seperti kettledrum (Inggris),
pauke atau metal trommeln (Jerman), ketletrom (Belanda),
kedeltrommeln (Denmark), hingga tambour
metallique (Prancis), sebagai nama yang paling sering digunakan. Di Indonesia,
nekara memiliki nama lokal beragam, seperti bulan untuk menyebut nama nekara
dari Pejeng (Bali), tifa guntur (Maluku), makalamau (Sangeang), moko (Alor),
kuang (Pulau Pantar), dan wulu (Flores Timur).
Bulan
Pejeng berasal dari kebudayaan logam terutama perunggu di Asia Tenggara dimulai
sekitar 3000-2000 SM berdasarkan hasil temuan di situs Dongson, Provinsi Thanh
Hoc, Vietnam Utara. Nekara yang masih disakralkan oleh masyarakat Bali ini
menunjukkan, bahwa di Masa Pra-Sejarah Pejeng telah dihuni oleh masyarakat yang
memiliki tingkat kebudayaan tinggi dan terhubung dengan masyarakat internasional, jauh sebelum pengaruh agama Hindu sampai di
Bali.
Nekara
Pejeng
Peninggalan Kerajaan Bedahulu lainnya, adalah Pura Pucak
Bukit Sinunggal; salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara,
terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Pura ini merupakan salah satu sisa-sisa
peninggalan Kerajaan Bedahulu. Berdasarkan prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa
tertanggal 19 Agustus 914, Pura Gunung Sinunggal yang dahulu disebut Hyang
Bukit Tunggal terdapat di Desa Air Tabar, daerah Indrapura. Desa Indrapura kini
disebut Desa Depaa. Sedangkan yang memelihara Pura Bukit Tunggal itu adalah
Desa Air Tabar. Di desa itu terdapat sejumlah tokoh, masing-masing Mpu
Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra dan Tri.
Pura Bukit Sinunggal terletak di sebuah bukit, dengan ketinggian kurang
lebih 600 meter di atas permukaan laut. Terdapat sebanyak 113 anak tangga
sepanjang 300 meter menuju mandala Pura Bukit Sinunggal. Di areal paling bawah,
terdapat sebuah candi
bentar (gerbang gapura) dengan dua buah apit lawang di
kanan-kiri.Terdapat beberapa pelinggih berupa meru yang disebut Pelinggih
Ida Hyang Pasupati, Ratu Gede Macaling, dan sebagainya. Dengan luas areal sekitar dua puluh are dengan lingkungan
sejuk, asri, serta banyak ditumbuhi berbagai macam tumbuhan pegunungan yang menambah keindahan pura.
Peninggalan Kerajaan Bedahulu yang dekat dengan Pusat
Kerajaan adalah Goa Gajah. Asal-usul Goa Gajah belum diketahui secara
pasti. Nama ini diperkirakan perpaduan dengan nama Pura Goa (sebutan masyarakat
setempat dengan nama kuno yang termuat dalam prasasti-prasati, yakni Ergajah
dan Lwa Gajah. Nama-nama Antakunjarapada dan Ratnakunjarapada mengandung pula
arti gajah (kunjara). Dulu di
sini adalah tempat bagi kaum Brahmana mangadakan Tapa Berata. Di kiri kanan dan
di Ujung dalam gua, anda akan melihat tempat strategis seperti tempat untuk
mengadakan yoga semadi. Di luar area Goa terdapat patung Ganeca dan
permandian penduduk desa yang masih digunakan sampai sekarang. Di sekitarnya
terdapat tempat-tempat bersejarah seperti yeh Pulu, Samuan Tiga, Gedong Arca,
Arjuna Bertapa, Kebo Edan, Pusering Jagat, Penataran Sasih dan lain-lain.
Kawasan Bedahulu dan Pejeng di utara
Gianyar tercatat dalam sejarah sebagai pusat pemerintahan sebelum jaman
Majapahit sedangkan Samplangan di timur Gianyar adalah pusat pemerintahan
saat awal kekuasaan Majapahit merangkul Bali. Goa Gajah baru ditemukan kembali
pada tahun 1923. Walaupun Lwa Gajah dan Bedahulu, yang sekarang menjadi Goa
Gajah dan Bedulu, telah disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama ditulis pada
tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan kembali kolam petirtaan di depan Goa
yang kemudian disusul dengan pemugaran dan pemasangan kembali area-area
pancuran yang semula terletak di depan Goa dalam keadaan tidak lengkap.
BACA ARTIKEL YANG LAIN, TEKAN JUDUL DIBAWAH INI:
Belum ada Komentar untuk "PENINGGALAN KERAJAAN BEDAHULU"
Posting Komentar