Yadnya
adalah upacara persembahan suci yang
tulus ikhlas Upacara penguburan mayat
(kematian), termasuk salah satu dari lima upacara (Panca Yadnya), yang
dilaksanakan oleh masyarakat Bali yang beragama Hindu, dikenal dengan Pitra
Yadnya, upacara suci yang dilaksanakan untuk manusia yang telah meninggal.
Upacara Panca Yadnya terdiri dari :
Upacara Manusa Yadnya
Merupakan
upacara persembahan suci yang tulus
ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual
terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir
kehidupan. Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci yang bertujuan untuk
memelihara hidup , mencapai kesempurnaan dalam kehidupan dan kesejahteraan
manusia selama hidupnya .
Beberapa
upacara Manusa Yadnya antara lain:
1.
Upakara/upacara bayi selama di dalam kandungan (Garbha Wadana /
pagedong-gedongan )
2. Upakara/upacara
bayi yang baru lahir ke dunia
3.
Upakara/upacara bayi kepus puser
4.
Upakara/upacara bayi berumur 42 hari (Tutug Kambuhan)
5.
Upakara/upacara bayi berumur 105 hari (nyambutin) atau biasanya di sebut telu
bulan karena lama nya hari itu 3 bulanan kalender wuku Bali (3 X 35 hari).
6. Upakara/upacara
oton (otonan) yang biasanya di rayakan setiap 6 bulan sekali di dalam kalender
wuku Bali .
7. Upakara/upacara
potong gigi (Mepandas , metatah , mesangih)
8.
Upakara/upacara perkawinan (Pawiwahan)
Upacara Pitra Yadnya
Upacara
Pitra Yadnya adalah suatu upacara pemujaan dengan hati yang tulus ikhlas
dan suci yang ditujukan kepada para Pitara dan roh-roh leluhur yang
telah meninggal dunia. Pitra Yadnya dapat diartikan sebagai penghormatan dan
pemeliharaan atau pemberian sesuatu yang baik dan layak kepada ayah-bunda dan
kepada orang-orang tua yang telah meninggal yang ada di lingkungan keluarga
sebagai suatu kelanjutan rasa bakti seorang anak (sentana) terhadap leluhurnya. Pelaksana
Pitra Yadnya ini sangat penting karena bagi seorang anak memliki hutang budi
atau dikatakan berhutang jiwa kepada leluhur. Sebagai sarana penyucian
digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina digunakan api
pralina (api alat kremasi).
Contoh-contoh
pelaksanaan Pitra Yadnya
1. Menghormati orang tua
2. Menuruti nasehat orang tua
3. Merawat orang tua ketika orang tua kita sedang sakit
4. Melaksanakan upacara pengabenan bagi orang tua atau leluhur kita yang telah meninggal .
Upacara Rsi Yadnya
1. Menghormati orang tua
2. Menuruti nasehat orang tua
3. Merawat orang tua ketika orang tua kita sedang sakit
4. Melaksanakan upacara pengabenan bagi orang tua atau leluhur kita yang telah meninggal .
Upacara Rsi Yadnya
Suatu
bentuk persembahan karya suci yang di tujukan kepada para rsi , orang suci ,
pinandita , pandita , sulinggih , guru , dan orang suci yang berhubungan dengan
agama Hhindu .Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci .
Sulinggih maupun guru juga termasuk orang suci karena beliau orang bijaksana
yang memberikan arahan kepada siswa-siswi nya .
Contoh-contoh pelaksanaan Rsi Yadnya
Contoh-contoh pelaksanaan Rsi Yadnya
1. Menghormati guru dan
perintah yang diberikannya .
2. Menjaga kesehatan dan kesejahteraan orang suci .
3. Membangun tempat-tempat pemujaan untuk orang suci
4. Memberi sesari atau punia kepada orang suci
2. Menjaga kesehatan dan kesejahteraan orang suci .
3. Membangun tempat-tempat pemujaan untuk orang suci
4. Memberi sesari atau punia kepada orang suci
Upacara Bhuta Yadnya
Bhuta
yadnya adalah suatu upakara/upacara suci yang ditujukan kepada bhuta kala atau
makluk bawah . Bhuta kala adalah kekuatan yang ada di alam yang bersifat
negatif yang perlu dilebur agar kembali kesifat positif agar tidak mengganggu
kedamaian hidup umat manusia yang berada di bumi dalam menjalankan aktifitasnya
.
Contoh-contoh
pelaksanaan Bhuta Yadnya
1. Upacara
Mecaru (Membersihkan area baik itu pura maupun natah di rumah)
2.
Ngaturang segehan untuk menetralkan sifat-sifat negative yang berada di bumi
3.
Upacara panca wali krama (10 tahun sekali) di laksanakan di pura agung besakih
4.
Upacara eka dasa rudra (100 tahun sekali) dilaksanakan di pura agung besakih
Bhuta
Yadnya
Upacara Dewa Yadnya
Dewa yadnya
adalah suatu bentuk persembahan atau korban suci dengan tulus iklas yang di
tujukan kepada sang pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) beserta dengan
manifestasinya dalam bentuk Tri Murti . Dewa Brahma sebagai pencipta alam
semesta , Dewa Wisnu sebagai pemelihara isi alam semesta , dan Dewa Siwa
sendiri sebagai pelebur atau praline dari alam semesta. Adapun
ketentuan-ketentuan yang di ketahui dalam melaksanakan Dewa Yadnya :
1. Tempat pelaksana dewa yadnya di tempat yang bersih dan memiliki suasana suci seperti pura .
2 . Memiliki sanggah surya sebagai pengganti padmasana
3 . Menghaturkan sesajen dengan bahan utama terdiri dari api , air bersih , buah dan bunga .
1. Tempat pelaksana dewa yadnya di tempat yang bersih dan memiliki suasana suci seperti pura .
2 . Memiliki sanggah surya sebagai pengganti padmasana
3 . Menghaturkan sesajen dengan bahan utama terdiri dari api , air bersih , buah dan bunga .
Contoh-contoh pelaksanaan Dewa
Yadnya dalam kehidupan :
1 . Melaksanakan puja Tri Sandhya setiap hari .
2 . Melaksanakan persembahyangan pada hari purnama dan tilem .
3 . Melaksanakan persembahyangan pada hari raya di pura seperti piodalan , hari saraswati , siwaratri , galungan dan kuningan .
4 . Selalu berdoa sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan
5. Menjaga kesucian tempat suci / pura
6. Mempelajari dan mempraktekan ajaran agama dalam kehidpan sehari-hari
1 . Melaksanakan puja Tri Sandhya setiap hari .
2 . Melaksanakan persembahyangan pada hari purnama dan tilem .
3 . Melaksanakan persembahyangan pada hari raya di pura seperti piodalan , hari saraswati , siwaratri , galungan dan kuningan .
4 . Selalu berdoa sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan
5. Menjaga kesucian tempat suci / pura
6. Mempelajari dan mempraktekan ajaran agama dalam kehidpan sehari-hari
Adapun tata
cara melaksanakan Dewa Yadnya :
1. Pelinggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa diberi upacara penyucian .
2 . Memohon dengan pujaan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa datang dan bersthana (tinggal) di pelinggih yang dipakai puja upeti .
3 . Menghantarkan upacara penyucian dengan diantar oleh puja sthiti .
4 . Sembahyang yang diakhiri dengan metirta
5 . Upacara penutup disebut “nyimpen” dengan memakai puja praline
1. Pelinggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa diberi upacara penyucian .
2 . Memohon dengan pujaan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa datang dan bersthana (tinggal) di pelinggih yang dipakai puja upeti .
3 . Menghantarkan upacara penyucian dengan diantar oleh puja sthiti .
4 . Sembahyang yang diakhiri dengan metirta
5 . Upacara penutup disebut “nyimpen” dengan memakai puja praline
Memaknai
Kematian.
Ada satu hal yang
pasti dalam hidup ini: pada akhirnya kita semua harus mati. Sebuah
keyakinan pada reinkarnasi,
siklus kelahiran dan kematian merupakan salah
satu dasar agama Hindu. Semua orang
Hindu percaya bahwa mereka akan terlahir kembali ke masa depan yang didasarkan
pada pikiran, perkataan dan tindakan di masa lalu mereka. Manusia tidak bisa lepas dari hukum alam yang
mengaturnya seperti lahir, hidup, mati adalah merupakan kodrat. Kematian
merupakan suatu hal yang pasti ada dalam kehidupan dan sangat biasa dan wajar
jika itu menimpa orang lain, tapi bila kematian itu menimpa keluarga, kekasih,
sahabat karib, kematian punya arti khusus dan luar biasa, terkadang kematian
belum sepenuhnya bisa diterima sebagai sesuatu yang wajar. Mungkin mulut
mengatakan wajar tapi jauh di lubuk hati yang paling dalam kematian adalah
sesuatu yang menakutkan. Terkait dengan fenomena itu sering terjadi di
masyarakat kita khususnya Bali ada istilah (metuwunang)
menanyakan pada orang tua/pintar/dukun (balian),
paranormal menanyakan kondisi roh atau atman yang sudah meninggal. Padahal
belum tentu kebenarannya. Tentunya keluarga akan senang dan bahagia jika roh
atau sang atman yang meninggal mendapat tempat yang baik, sebaliknya jika
sang balian/dukun mengatakan kematian keluarganya tidak wajar, Nah munculah
masalah baru. Urusan surga, neraka, layak dan tidaknya tempat di alam sana itu
menjadi urusan karma sang roh/atma. Dalam menghadapi kematian kita sering kelabakan, bingung, bingung karena
kehilangan, bingung menghadapi jenazah, bingung menentukan hari baik dan
mengharuskan jenazah menginap beberapa hari bisa 3 hari, 1 minggu, bahkan sampai
24 hari.
Berbicara
kematian bukan menyangkut masalah duniawi, karena ketika mati tidak satupun
harta benda, keluarga, kedudukan yang terbawa bahkan sang badan ini
sewaktu kita hidup kita bangga-banggakan, disanjung-sanjung orang,
tidak punya nilai disaat mati tinggal hanya nama. Rahasia kematian tidak
dapat disingkap/dimengerti dengan pengetahuan duniawi atau mengandalkan
kemampuan kita sebagai manusia. Kekurangan pengetahuan Veda membuat kita gagal
memahami tabir kematian sehingga sering kematian dianggap takdir atas kehendak
Hyang Widhi. Mendapat musibah di anggap takdir, hidup susah dianggap
takdir, tidak dapat jodoh (jomblo) di anggap takdir, bencana dianggap
takdir. Segala sesuatu masalah dianggap takdir dan sebaliknya, segala bentuk
kesenangan/kebaikan tidak dianggap takdir. Dalam weda dikatakan segala
masalah dan musibah tidak pernah diciptakan Hyang Widhi, demikian juga dengan
kelahiran dan kematian, semua itu karena ulah manusia yang tidak bisa berdamai
dengan alam, dan manusia sendiri menerima kelahiran maka harus siap menerima
kematian. Setiap yang lahir, kematian adalah pasti, demikian pula setiap yang
mati kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan, karena itu tak ada
alasan untuk menyesal. Kematian bukan akhir dari kehidupan, dengan demikian manusia tidak usah menyesali
kematian sebaliknya harus berani menghadapinya dan berupaya mencari jalan
pembebasan dari hukum kelahiran dan kematian tersebut (Punarbawa). Tujuan dari
umat Hindu yang sebenarnya bukan ke Brahma loka, Wisnu Loka atau Siwa Loka tapi
Moksa bebas dari kelahiran dan kematian, menyatu dengan Hyang Widhi, Amor Ring
Acintya. Kematian dalam agama Hindu dianalogikan sepertinya orang mengganti
pakaian yang lama dengan pakaian baru, badan jasmani punya batas/masa waktu
hidup, badan-badan itu dengan sendirinya akan rusak, dan sang jiwa akan pindah
ke badan yang lain.
Setiap
orang yang lahir pasti akhirnya meninggalkan dunia ini. Hal itu disebut mati
atau meninggal. Dalam Bhagawad
Gita XIII.8 dinyatakan ada enam hal yang wajib kita
renungkan setiap saat. Janma
dan Mrtyu yaitu lahir dan mati. Jara dan Wiyadhi artinya
tua dan sakit. Duhkha dan
Dosa artinya sedih dan
salah berdosa. Demikian juga Canakya
Niti IV.1 menyatakan nasib manusia sudah ditetapkan saat masih
dalam kandungan termasuk Nidahana atau
kapan manusia itu mati. Lima hal itu ditetapkan oleh Tuhan berdasarkan
karma-karma pada penjelmaan sebelumnya Pertanyaan selanjutnya bagaimana konsep
mati menurut ajaran Hindu. Mati menurut ajaran Hindu ada dua konsep yaitu berdasarkan Tattwa dan berdasarkan
Upacara Yadnya.
Mati menurut Tattwa seperti
dinyatakan dalam pustaka Wrehaspati
Tattwa yang dikutip di atas. Kalau sudah lepas Sang Hyang
Atma dari badan sariranya yang dibangun oleh Panca Maha Bhuta itu sudah
meninggal secara Tattwa.
Jangan hal itu dianggap tidur saja. Tidur dan mati itu kan tidak sama. Orang
yang meninggal, meskipun secara tattwa sudah
meninggal, namun kalau belum diupacarai yang disebut Atiwa-tiwa belum tuntas
meninggalnya. Meninggal secara Tattwa pegangan
kita sebagai umat Hindu adalah Wrehaspati
Tattwa tersebut. Sedangkan kalau meninggal secara upacara
yadnya pegangan
umat Hindu semestinya Lontar
Pretekaning Wong Pejah. Kalau meninggal secara Tattwa belum
nyaluk sebel.
Tetapi kalau sudah meninggal secara upacara menurut Lontar
Pretekaning Wong Pejah saat itulah umat baru
nyaluk sebel atau cuntaka. Hukum negara juga
mengatur orang meninggal saat otak dan batang otak sudah tidak berfungsi,
secara hukum itu sudah meninggal. Tetapi dalam ilmu kedokteran ada yang disebut
mati sel, di mana seluruh sel sudah tidak berfungsi. Mati sel itu membutuhkan
waktu yang lebih panjang: Ini artinya ajaran Hindu menentukan adanya konsep
mati menurut Hindu yaitu: mati menurut tattwa dan
mati menurut upacara yadnya.
Pitra Yadnya
Di bagian lain, kematian adalah perjalanan berikutnya dalam proses
penciptaan alam dengan manusia sebagai bagiannya, bagian dari siklus kehidupan
besar -makrokosmos- yang kita tak tahu akan menuju ke mana. Sebagian manusia
percaya kematian hanyalah jalan menuju kesempurnaan, kemanunggalan dengan
pencipta. Walau, sebagian lain percaya kematian berarti menuju kepada
‘masa penghukuman’, ‘punishment’, menuju surga atau neraka. Apapun makna
kematian itu, masyarakat Bali menyambutnya lewat ritual, di antaranya diisi
dengan jamuan makan dan alunan gamelan, layaknya pesta besar. Angklung, gamelan
bertangga nada empat memainkan lagu ‘kejar-kejaran’, yang menggambarkan proses
raga si mati dan rohnya yang saling mengejar menuju ‘rumah terakhir’. Kadang
raga menunggu roh, tak jarang roh mendahului meninggalkan raga, dalam
perjalanan menuju rumah terakhir tadi. Itu sebabnya tempo angklung biasanya
lambat lalu perlahan cepat, dan semakin cepat. Filosofi dari permainan angklung ini adalah, raga tak
benar-benar mati ketika terpisah dari rohnya. Raga yang kemudian membusuk,
menunjukkan proses ‘kehidupan’ juga, bahkan ketika akhirnya menjadi debu,
bersatu dengan tanah sebagai zat hara. Raga si mati akhirnya bagian dari
kehidupan, yang menyokong kehidupan, Begitupun roh yang akhirnya mencapai
tempat tertinggi. Kelak dia mungkin akan moksa atau dilahirkan kembali
-reinkarnasi- sesuai kepercayaan Hindu.
Pada Lontar Wrehaspati Tattwa disebutkan juga pada waktu mati, hanya berarti berpisahnya
Panca Maha Bhuta dengan Atman yang ada pada badannya. Hanya badan kasarnya yang
lenyap, sedangkan rohnya tetap tak berubah, sebab alam ini penuh disusupi
Atman. Ritual kematian dari Babad Bali atau disebut dengan Upacara Pitra
Yadnya (kematian). Upacara Penguburan Mayat, meliputi proses penguburan
dari sejak upacara memandikan mayat, memendem (menanam) sampai upacara setelah
mayat di tanam atau di pendem. Maka peru kita sadari betul bahwa sang diri ini
bukan hanya sekedar badan,ada jiwa yang perlu mendapat pencerahan dengan
pengetahuan rohani. Menjaga badan penting dan harus tapi jangan berlebihan
harus seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani. Manusia tidak mampu
mempertahankan badan jasmani pasti kembali ke asalnya yaitu panca maha buta. Mumpung
diberikan kesempatan hidup, mari perbaiki kualitas karma, berbuatlah yang
baik,keinsafan diri,penyerahan diri kepada Hyang widhi merupakan kebutuhan
utama diri sebagai jiwa/roh.
(Dari
berbagai sumber)
Baca Juga :
Belum ada Komentar untuk "PANCA YADNYA DAN KEMATIAN"
Posting Komentar