Penguburan
Jenazah menurut umat Hindu di
Bali, dalam naskah lontar yama tattwa berkaitan
dengan mendem sawa disebutkan
bahwa apabila batas waktu dikubur telah selesai baru dibuatkan upacara ngaben yang
bertujuan untuk dapat mempercepat pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta yang
melekat dalam badan kasar dan halus dari roh bersangkutan.
Urutan
upacara penguburan seperti berikut ini :
1. Memandikan jenasah
2. Mengusung mayat ke kuburan.
3. Mengubur jenasah
1
Persiapan
Sarana Memandikan Jenasah.
Sebelum
prosesi nyiramang layon (memandikan jenasah), dilaksanakan, maka perlu
disiapkan sarana-sarana sebagai berikut :
1. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
2. Tirta peleletan dari wiku
3. Tirta Pekuluh dari merajan.
4. Tirta khusus:
a. Tirta Pengentas Bangbang:
selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya
menggunakan tirta diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka
sebelum setahun tidak boleh ngaben
b. Tirta
Sang Hyang Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan
tirta ini, karena tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. Sang Hyang Prajapati bersifat
Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati sebagai tempat kehidupan bermula.
5. Persiapan
sarana pebersihan:
a. Toya kumkuman,
b. Sisig ambuh,
c. Sisir dan petat,
d. Minyak rambut,
e. Wastra pesalin
sepradeg,
f. Boreh kuning,
g. Kain pengusap rai,
h. Kain pengusap raga.
6. Persiapan
Sarana Penyucian:
a. Gegaleng 1 ijas pisang kayu
9 atau 11 bulih,
b. Belayag berisi pis bolong 225/250
biji,
c. Tebu ratu mesurat sangkan paran dan batang kayu / taru sakti,
semuanya dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai
gegaleng.
d. Momon (cincin mirah Windhusara) untuk ngerajah dan momon. Simbul
menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa hidupnya. Juga untuk mencegah
bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang
telah meninggalkan jenasah.
e. Beberapa lembar kain putih yang dirajah
huruf Modre (kajang).
Simbul penyucian organ tubuh sensitif yang menimbulkan kama dan
indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah: Penukup Siwa dwara (ubun-ubun),
Penukup dua daun telinga, Penukup lambe (mulut), Penukup muka atau prerai,
Penukup purus atau baga (kemaluan).
f. Wewalungan yang dirangkai diletakkan
diatas layon, yang terdiri dari :
1) Umbi skapa diiris-iris (usapang pada
setiap persendian jenasah, sbg simbul penyucian wyana dari dasa prana).
2) Daun intaran (simbul ardha Chandra).
3) Kuncup kembang melati (pusuh menuh)
untuk lubang hidung simbul Sang Hyang Waruna.
4) Bunga teleng
putih (slagan alis).
5) Daun delem (untuk telinga) sbg simbul Sang
Hyang Kwera.
6) Malem 2 pulung (untuk lubang telinga),
simbul apah, simbul Sang Blegode.
7) Air Keramas (santen berisi air dapdap).
8) Blonyoh putih (beras kencur), blonyoh
kuning (beras kencur temutis).
9) Bebek (serbuk) anget-anget. Kapas.
10)Pecahan cermin 2 buah untuk kedua
netranya. Simbul Teja (Sang Hyang Surya Candra).
11) Tali penyalin secukupnya
12) Bebek (serbuk cendana) secukupnya.
Taburi seluruh tubuh sbg simbul Pertiwi (Sang Hyang Carman).
13) Selembar daun tunjung berisi kain hitam
dan semburan (boreh) rempah-rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri memakai
selembar daun tuwung bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2 (anget2)
pada kemaluan, simbul Sang Hyang Smara.
14) Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk
mekerik (lanang), pisau mejejahitan untuk
istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri sula) utk menetralisir kekuatan Sadripu
dan Sapta Timira yang kelak mempengaruhi perbuatan
(karmanya). Dari Tatwa:
penyucian Dewa Kuku (Sang Hyang Kenaka Manik) yang telah dikotori perilaku
manusia (lontar Tutur
Agastyaprana).
15) Dua untai benang tetebus (benang
putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu jari kaki dan tangan. Simbul
penyatuan panca yaitu Panca Budhindriya dengan
Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk
kembali ke Ahamkara.
16) Sebuah ante dari bambu,
ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati dan kaki.
17) Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah
18) Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom
dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm,
panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga
tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
19) Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading
dan lis degdeg.
20) Kain putih untuk menggulung. Kain putih
melelancing dengan lapis kain 11 lapis (untuk kajang solas).
21)Dua lempeng perak dibungkus tiga helai
daun taru sakti
sebagai pegembelnya.
22) Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi)
simbul Bayu,
simbul dari Sang Hyang Bayu.
23) Peti jenasah yang sudah
diupacarai, tumpang salu,
pepelengkungan. Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
24) Kain putih berisi sesuratan dedayang
sebagai sarana ulon.
25) Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha (warga
Pasek sesuai Bhisama
menggunakan daun biyu kaikik), nantinya
ditindih oleh jenasah. Ditulis huruf “Rwa Bhinneda”.
Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air = Wisnu =
Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna: “karmanyalah
menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.
g. Persiapan
tempat pebersihan yaitu Pepaga atau
pandyusangan atau penusangan. Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dg
kawat mas, perak tembaga (tridatu).
Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai. Pepaga (penusangan)
dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat tingginya 175 Cm,
ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat setinggi puser sang “yajamana” (pemilik
upacara), dipasangi leluwur. Pojok timur laut dari tiang dipasang 11 uang
kepeng sebagai simbul tingkatan alam sunia yg dituju. Panjang bambu dua jengkal
lebih dari ukuran jenasah dengan lebar 80 Cm atau sesuai lebar jenasah.
Galarnya menggunakan perhitungan “Ante” (cekur, pinggang, nyawan, galar, ante,
guling). Etika pemasangan:
jika laki tengahnya menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.
h. Persiapan peti
jenasah (simbul
kekuatan maya Sang Hyang Widhi).
Pada bagian kaki dilubangi sebesar “aguli” (ajari tengah) sebagai
jalannya Panca Maha Butha keluar
dari maya menuju alam “Sapta Petala”.
Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar jiwatma menuju Sapta Sunia (atau Sapta Loka).
i. Upakara ayaban setelah melelet diletakkan diwulu
tempat layon (luanan),
baik nista, madya atau utama.. Contoh: Banten ayaban tumpeng 27,
hulunya daksina gede
sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya,
Banten Saji Tarpana,
Banten Pulegembal,
Banten Pengulapan, prayascita, beyekawonan.
j. Seember air
antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air
diisi bahan kimia antiseptic) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.
Prosesi
Memandikan Jenasah
Prosesi
nyiramang layon (memandikan jenasah), dilaksanakan, seperti merawat layaknya
orang yang masih hidup. Tata cara upacara nyiramang layon untuk
memandikan, membersihkan dan mensucikan sawa (jenasah) sebelum
dilaksanakan upacara penguburan, adalah sebagai berikut :
1. Diadakan upacara nanginin (membangunkan)
dengan mengumandangkan kidung Pitra Yadna. Jenazah diturunkan dari pembaringan
dan diletakkan di atas tandu dilengkapi
dengan ulap-ulap,
semua ini bertempat di natah (halaman) pekarangan.
Penurunan layon dari Bale Gede,
dilakukan sanak keluarga, diserahkan kepada krama banjar dicacapan bale,
keluarga tetap membopong bagian kepala. Menuju pepaga (tempat menaruh mayat
yang akan dimandikan), posisi kaki layon (jenasah) tetap didepan.
2. Peralatan untuk memandikan jenasah
seperti tersebut diatas hendaknya sudah disiapkan. Kepala layon di Ulu (sebelah
timur atau utara), Leluhur ditaruh diatas tempat memandikan serta peralatan
lainnya ditempatkan di Ulu.
3. Pemimpin upacara membuka penutup
dibagian kepala dengan menarik kearah leher serta mulai melakukan serangkaian
pabersihan (sawa Preteka).
4. Busana hanya dibuka bagian dada saja
dulu. Kemudian barulah pakaiannya dilepas
5.
Pertama
kali keramas dengan toya ambuh. Mantra
ngeramasi: “Om banyu klemukan, banyu pawitra pangilanging papa klesa, danda upata
atemahan sudha nirmala ya nama svaha. Ong ong angurah candra dimuka ya nama svaha”.
6. Setelah keramas barulah busana dibuka
seluruhnya, keluarga menutup bagian kemaluannya
7. Mencuci mulut atau berkumur dengan air
biasa, setelah itu membersihkan giginya dengan sigsig yang dibuat dari jaja
gina (jajan dengan bahan baku beras dan ketan) yang dibakar, arangnya dipakai sebagai
sigsig dengan Mantram: “Om waja,
sudha spathika puspadanta ya namah svaha””.
8. Cuci muka dengan air biasa, lalu
diberikan bedak dari gamongan lalu dikeringkan , dengan Mantram: “Om paripurna ya nama svaha”. Artinya: Tuhan, dengan bedak ini semoga menjadi sempurna.
9. Seluruh badan dibilas air biasa, (mantra memandikan: “Om
sarira suda ya namah svaha.
Om gangga paripurna
ya
namah svaha”. gosok dg blonyoh
(boreh kuning), dibilas. kemudian diberi bedak atau boreh dengan bedak isen,
dan kakinya dengan boreh kunyit, lalu diblonyoh putih kuning dibuat dari beras
putih dan kuning. Beras putih untuk diatas dari muka ke kepala, beras kuning
untuk dibawah dari leher ke kaki, serta makerik kuku tangan dan kaki, dibungkus
dengan daun sirih diletakkan di pepaga, dengan Mantram: “Om asuchirwa suchirwyapi, sarwakama
gatopiwam, chintayed dewam isanam, sabahya byantara suchih”. Artinya: Bila seseorang sudah suci atau tidak asal ia menghilangkan
segala keinginan ketika ia memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi, maka sucilah
ia. Selanjutnya memasang itik-itik pada ibu jari kaki, memasang
itik-itik ibu jari tangan.
10.
Keringkan
rambut dan muka dengan kain putih. Rambut disisir dengan sisir petat (sisir
yang dibuat dari bambu. Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra lingga
(lanang), dengan mantram: “Om banyu kalamukan banyu patra
pasamauh papa klesa danda upata ya namah
svaha”. Artinya: Tuhan, semoga air yang dipakai berkeramas dapat menghilangkan
papa klesa danada dan upata.
11. Mengenakan tekep bhaga/purus yang baru
serta monmon dimulut. oleh putra-putri
atau keluarga terkecil dari yang diupacarai.
12. Tikar penggulungan diganti, disertai
Mantram: “Om sikapa pamulune sang wus lampus, lempung lemuh ya namah svaha”. Artinya: Tuhan, semoga yang
diupacarai putih dan lembut.
13. Wiku nyurat sastra diraga dengan
cincin mirah.
(Ah – Nabi; Dasaksara –
perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu kanan; Adu muka = selagan
alis; Ang = ubun2.)
3
14. Di setiap buku atau persendiannya diletakkan
kwangen :
a. Ubun-ubun, 1 buah kewangen + 11 uang
kepeng
b. Tangan kiri, 1 buah kewangen + 5
uang kepeng
c. Tangan Kanan, 1 buah kewangen + 5 uang
kepeng
d. Dada, 1 buah kewangen + 11 uang kepeng
e. Ulu Hati, 1 buah kewangen + 11 uang
kepeng
f. Kaki kiri, 1 buah kewangen + 5 uang
kepeng
g. Kaki Kanan, 1 buah kewangen + 5 uang
kepeng
h. Lambung kanan, 8 buah kewangen + 15 uang
kepeng
i. Lambung kiri, 8 buah kewangen + 15 uang
kepeng
j. Bantal tanpa kewangen dengan uang kepeng
sebanyak 225 kepeng. Intinya jenazah itu dirawat layaknya orang masih hidup.
15.
Memasang/mengenakan Wewalungan
a. Cermin dipasang dikedua mata.
b. Baja(waja) dipasang pada gigi.
c. Daun Intaran dipasang di kening
d. Memasang gadung di dahi
e. Boreh anget pada perut,
f. Lenga wangi pada tubuh,
g. Daun Delem dipasang di pipi
h. Bunga pusuh menuh dipasang di hidung.
i. Bunga kelor dipasang di taring.
j. Sebilah besi/paku dipasang pada kedua
kaki.
k. Lekesan sirih hitam di jeriji kedua
tangan
l. Lekesan sirih putih di jeriji kedua
kaki.
m. Daun tuwung pada kemaluan laki-laki
n. Daun tunjung di kemaluan wanita
o. Lengis kapur anggen anget-anget
p. Gempong(empol kelapa) dipakai menyembur
sesuai arah mata angin(Timur, Selatan, Barat, Utara, Tengah, Atas, Bawah)
q. Angkeb rai (muka) dipasang di wunwunan
atau muka.
16. Mewastra:
dikenakan kain, kampuh, daster putih untuk laki-laki. Dikenakan kain, selendang
putih untuk perempuan..
17. Meletakkan
bantal kemudian mesasad dengan telur ayam, sabut kelapa, alang-alang yang
dijepit dengan lidi dari ujung rambut sampai ujung kaki, Mantramnya: “Om anda pamarisudha sarwa bhuta
ya namah svaha” Artinya: Tuhan, semoga dengan telur ini yang suci ini segala bhuta kala
ruwat.
18. Selanjutnya disembahyangkan dengan diperciki
air kumkuman, Tirtha Pangelukatan, Tirtha Pabersihan, Tirtha
Kawitan atau Tirtha Batara Hyang Guru dari Kamulan Taksu dan Tirtha
Kahyangan Tiga, dengan posisi tangan layon memegang sebuah kwangen
berisi 11 pis bolong.
Kalau akan dipendem atau dikubur atau
belum ditentukan hari pengabenan dipercikkan Tirtha
Pengentas Tanem. Ini semuanya merupakan simbol permakluman tentang
kematian Sang Seda (orang yang meninggal).
19. Lalu disuguhi tarpana mapegat, dilengkapi dengan banten mapegat atau
sambutan, lambang perpisahan dengan seluruh keluarga umumnya yang satu Sanggah Merajan. Sanak keluarga mohon restu ke Sang Hyang
Raditya dg kwangen,
posisi tangan di selagan alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon.
Mantra: “Om Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama
Sampurna ye namah svaha”. Sembahyang:
Cakupkan tangan dengan sembah puyung (utpeti
sembah) Ke surya (Sang Hyang Siwa Raditya)
dg kewangen: Mohon anugerah kekuatan widya kepada Sang Lina (Stiti sembah).
Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama agar sang lina melepas tresnanya kpd
keluarga yg ditinggalkan
20. Terakhir Sawa dibungkus atau dilelet
dengan tikar dan tali kendit atau ante bambu, jenazah diusung lagi ke tempat
pembaringan terus memasukkan ke peti sawa. Di Bale Gede umumnya
ada Arca Garuda simbol Dewa yang dapat menuntun orang yang meninggal itu
memperoleh tuntunan pembebasan dari dosa-dosa selama hidupnya. Dilengkapi dengan saji banten arepan,
seperti bubur pirata,
nasi angkeb saji sebagai bekal roh menuju akhirat.
(Dari
Berbagai Sumber).
BACA JUGA , KLIK DIBAWAH INI:
4. Kajang Untuk Apa (1)5. Misteri Kehidupan Masa Lalu 1
Om swastiastu ingin bertanya ) Dua lempeng perak dibungkus tiga helai daun taru sakti sebagai pegembelnya, apakah pagemelan ini bisa di ambil kembali seperti halnya momon atau sebaiknya tidak nggih? Suksma
BalasHapusperak tidak semahal emas.. harganya 15 rb an per gram, bisa pakai pripihan, harganya 10rb an..
HapusSeperti yang anda sebutkan, dua lempeng perak itu dibuang seperti sarana yang lainnya, hanya momonnya saja yang diambil kembali
BalasHapusKenapa momonnya harus menggunakan cincin batu Mirah, apa fungsi dan manfaatnya baik untuk sang palatra maupun untuk keluarganya??? Tksh
Hapus