Kata “mati” atau “kematian”, sendiri diberi makna
berbeda-beda oleh agama-agama yang berbeda. Ada agama-agama yang menggambarkan
kematian sebagai suatu yang menakutkan dan mengerikan. Sejak jiwa dicabut dari
tubuh, menanti di alam kubur, hari kiamat, perjalanan menuju pengadilan akhir
dan neraka, digambarkan sangat menyakitkan.
Di dalam Sruti Hindu, kematian digambarkan sebagai proses alamiah yang biasa, seperti buah timun yang lepas dari tangkainya, ketika sudah tua. Jiwa yang keluar dari badan, dikatakan mengalami kebahagiaan karena lepas dari kurungan materi. Bahkan diandaikan seperti raja yang akan berangkat, diiringi oleh para petinggi. Bagi orang-orang suci, mati disebut sebagai maha Samadhi, Samadhi teragung. Penelitian yang dilakukan oleh Dr Raymond Moody atas banyak orang yang pernah mati dan hidup lagi (near death experience), dan Dr Eben Alexander yang mencatat pengalamannya sendiri koma selama tujuh hari, kematian itu sama sekali bukanlah hal yang menakutkan, tidak ada rasa sakit, atau siksaan, justru sebaliknya, mereka merasa damai dan tenang. Ini mengkonfirmasi apa yang ditulis oleh para Maharsi di dalam Sruti.
Ada
lima tahap penting atau utama pada upacara kematian pada masyarakat Bali, yaitu
:
1. Memandikan jenazah
2. Penguburan mayat (bila mayat tidak langsung diaben/dikremasi)
3. Ngaben (pembakaran mayat untuk
memisahkan antara roh dan badan wadag),
4. Ngerorasin/maligia/nyekah/nutugang
(penyucian roh/jiwa).
5. Ngelinggihang (menempatkan roh/jiwa si
mati yang telah suci pada tempatnya). Tetapi pada masing-masing golongan tetap
ada ciri khas atau tata cara tersendiri.
Walaupun
mempunyai tata upacara yang berbeda, pada dasarnya upacara kematian merupakan
penghormatan terhadap jenazah dan roh/jiwa, kegiatan untuk membesarkan dan menghibur hati kerabat
yang ditinggalkan, serta mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu
karena kematian seseorang. Dalam upacara ini juga terlihat sikap-sikap
kehidupan dan krisis-krisis yang melanda sesuai pandangan hidup serta paham
masyarakat tentang alam semesta. Bagi si mati, berarti tata cara untuk
mengembalikan unsur pembentuk tubuh (jiwa dan raga) ke asalnya.
Bagi
masyarakat Bali upacara kematian mempunyai akar sejarah yang jauh di masa
lampau. Di dalamnya terdapat endapan nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan
sebagai aspek ideal. Walaupun begitu ada suatu kecenderungan, semakin tinggi kedudukan
social, semakin tinggi pula tingkatan upacara yang dilaksanakan. Penguburan
Jenazah adalah sebuah upacara pemakaman dimana
menurut umat Hindu di
Bali dalam naskah lontar yama tattwa berkaitan
dengan mendem sawa disebutkan
bahwa apabila batas waktu dikubur telah selesai baru dibuatkan upacara ngaben yang
bertujuan untuk dapat mempercepat pengembalian unsur-unsur panca maha bhuta yang
melekat dalam badan kasar dan halus dari roh bersangkutan.
Hari Baik
Penguburan Jenasah
Masyarakat
Hindu dan Kejawen, masih mempercayai
bahwa masing-masing hari memiliki urip (= nilai), yang akan mempengaruhi dan
menjadikan hari-hari tertentu sebagai hari baik atau kurang baik. Untuk
mengubur jenazah, perlu juga dicari hari baik. Ada sejumlah pantangan
hari dalam penguburan jenazah. Perlu dicari dewasa ayu atau hari baik jika
mengubur jenazah seseorang. Hal ini disebabkan, menurut agama Hindu, kuburan
atau setra adalah salah satu tempat yang disucikan. Tak ada yang boleh
sembarangan melakukan sesuatu di setra, walau hanya iseng. Akibatnya bisa
fatal, yakni karubuhan atau bencana, baik sekala (nyata) maupun niskala (gaib).
“Jadi
yang pertama, harus dicari dewasa ayu atau hari baik untuk menguburkan
jenazah,”.
Dari sejumlah pantangan yang ada, yang paling umum dihindari adalah dewasa ala (hari buruk) berupa Kala Gotongan dan Semut Sadulur. Istilah ini tak asing di telinga masyarakat Bali. Kala Gotongan dipercaya buruk untuk menguburkan jenazah, karena seperti istilah menggotong, yang artinya membawa sesuatu dengan dua orang atau lebih. Jika nekat mengubur jenazah saat Kala Gotongan, maka dipercaya pula dalam waktu dekat akan ada warga yang menyusul meninggal. Bahkan, kematian bisa beruntun, sehingga diibaratkan masyarakat sibuk menggotong mayat. Hal itu akan terjadi jika tidak segera dilakukan prosesi yang sesuai dengan kepercayaan. Misalnya dengan menghaturkan upakara berupa guru piduka dan sebagainya.
Demikian pula istilah Semut Sadulur, merujuk pada barisan semut yang berjalan beriringan saling menyusul. Jika Semut Sadulur dilanggar, maka efeknya dipercaya setali tiga uang dengan Kala Gotongan. “Oleh karena itu, sesuai kepercayaan kita sebagai umat Hindu di Bali, hal ini tak boleh dilanggar, baik sengaja atau tidak.
Lalu, bagaimana cara mengetahui Kala Gotongan dan Semut Sadulur itu? Dinamakan Kala Gotongan, bila sapta wara (hari-hari yang terdiri dari tujuh hari) dan panca wara (hari-hari yang terdiri dari lima hari), jumlah uripnya (nilainya) 14 berturut-turut selama tiga hari. seperti Sukra Kliwon hingga Redite Paing. Sukra (6) ditambah Kliwon (8) hasilnya 14. Saniscara (9) ditambah Umanis (5) hasilnya 14. Demikian pula Redite (5) ditambah Paing (9) hasilnya 14. “Inilah yang disebut dengan Kala Gotongan. Sedangkan Semut Sedulur, adalah wewaran berupa sapta wara dan panca wara yang jumlahnya 13, tiga hari berturut-turut, seperti Sukra Pon hingga Redite Kliwon. Sukra (6) ditambah Pon (7) hasilnya 13. Saniscara (9) ditambah Wage (4) hasilnya 13. Demikian pula Redite (5) ditambah Kliwon (8) hasilnya 13.
Di
samping Semut Sadulur dan Kala Gotongan, biasanya juga dihindari waktu Pasah
yang datang setiap tiga hari sekali. Pasah yang merupakan bagian dari Tri Wara (hari
yang jumlahnya tiga, dalam satu putaran), juga dianggap tidak baik untuk melakukan penguburan jenazah. Jika dilanggar,
sesuai kepercayaan, akan datang efek yang tidak baik bagi seluruh krama desa
adat setempat.
Kontroversi
Hari Baik Penguburan
Kematian
bisa datang kapan saja. Ketika kematian itu tiba, tiada yang bisa menolaknya,
meskipun berlindung di dalam bangunan yang kokoh dikelilingi batu. Mengubur
jenazah perlu dicarikan hari baik. Tak sembarang hari, penguburan jenasah bisa
dilakukan, apalagi saat Kala Gotongan dan Semut Sadulur.
Petermuan
antara Sapta Wara dan Panca Wara yang bila uripnya dijumlahkan, jatuh sebagai
Kala Gotongan atau Semut Sedulur,
hari-haari tersebut dianggap hari tidak baik dalam agama Hindu di Bali
sehingga tidak boleh melaksanakan upacara Pitra Yajna seperti Ngaben atau
Atiwa-tiwa. Bila mana hal tersebut dilanggar, maka ada kepercayaan
bahwa akan membawa akibat tidak
baik di lingkungan/braya setempat. Ibarat semut yang berjalan beriringan
begitulah masyarakat memahami makna semut sedulur sebagai isyarat akan adanya
iringan mayat bersusulan.
Kala
Gotongan juga dipercaya sebagai hari tidak baik untuk melakukan upacara pitra
yadnya (korban suci yang dipersembahkan kepada roh orang yang meninggal),
apabila dilanggar maka diyakini akan terjadi kematian berturut-turut dalam
kurun waktu yang berdekatan. Dalam tradisi Bali, dilarang mengubur atau
mengkremasi jenazah saat Kala Gotongan, Semut Sadulur dan Pasah. Ini memang
menjadi masalah bagi banyak orang Bali yang tinggal di luar Bali maupun di Bali
sendiri. Warga Hindu yang tinggal di sekitarnya wajib bergadang malam harinya,
bisa 5 hari 5 malam, padahal besoknya harus kerja di kantor. Tuan rumah yang
kedukaan juga harus mengeluarkan biaya untuk menyiapkan makanan minuman selama
hari-hari itu. Di samping itu warga mayoritas sekitar rumah yang berkeyainan
lain, yang diwajibkan oleh agama menguburkan mayat l x 24 jam, merasa
keberatan. Belum lagi bila ada perda yang mewajibkan penguburan mayat dalam 1 x
24 jam.
Untuk mencari jalan keluar kita tidak boleh semena-mena mengatakan, bahwa tradisi kuno ini harus ditinggalkan, tetapi harus tahu dulu apakah alasan di balik larangan itu? Ternyata hanya karena arti yang dberikan secara sewenang kepada ketiga kata ini: Semut Sadulur, Kala Gotongan dan Pasah. Mari kita periksa satu persatu. Apakah Kala Gotongan dan Semut Sedulur? Keduanya adalah nama yang diberikan pada satu gabungan angka dalam perhitungan wariga, (perhitungan waktu menurut kalender Bali), khususnya wawaran. Wawaran terdiri dari 10, mulai dari eka wara yang hanya satu, hingga dasa wara yang 10 buah.
Kata “gotongan” atau “gotong” sebenarnya artinya netral, bahkan cenderung positif. Sesuatu digotong atau dipikul karena ia mulia atau berharga. Bandingkan dengan kata “seret” atau “injak”. Mayat manusia digotong, karena dianggap mulia atau terhormat. Mayat anjing diseret. Kecoa diinjak-injak. Jadi menggotong memiliki arti baik, apalagi bila ditambah pasangannya “royong”, artinya bersama-sama melakukan pekerjaan besar dan penting, sehingga terasa ringan, selesai pada waktunya, lebih cepat dengan berhasil sangat baik.
Kata
“semut” tidak berarti negative, tetapi sebaliknya positif. Ia bukan binatang
berbahaya. Kata”semut hitam” dipakai sebagai simbul produktivitas. Juga
kebersamaan, keberanian dan kekuatan. Kata “semut sadulur” sebenarnya berarti
semut yang bersaudara (“dulur”) : kerabat). Bahkan bila diberi arti “barisan
semut yang berjalan beriringan saling menyusul,” ini sebenarnya berarti sangat
positif: sebagai contoh disiplin berlalu lintas, atau berjalan bersama secara
teratur dan disiplin untuk menuju tujuan mulia. Memberi arti “semut sedulur”
sebagai mati susul menyusul adalah sebuah pemaksaan penafsiran.
Pasah, dalam Tri wara “pasah” disebut juga “dora”, berarti “jaba sisi” (di pinggir luar). Mengapa pada waktu pasah dilarang mengubur atau ngaben, tidak jelas alasannya. Perlu diketahui pada ketiga hari itu, semua kegiatan lain, termasuk yang mengandung risiko tinggi tidak dilarang. Dokter melakukan segala macam operasi: jantung, usus buntu sampai kutil di rumah sakit. Pilot menerbangkan pesawat. Bahkan ada pasar yang justru buka pada hari pasah, sesuai gilirannya, karena waktu beteng dan kajeng, giliran pasar lain.
Larangan mengubur atau mengkremasi mayat pada tiga jenis hari itu hanyalah
tradisi Bali. Tradisi, atau “Acara” adalah hierarki terendah sebagai sumber
pelaksanaan ajaran Hindu. Yang tertinggi adalah Sruti, yaitu Weda, Upanisad dan
Bhagawad Gita. Di dalam Sruti tidak ada ketentuan hari-hari terlarang untuk
mengkremasi atau mengubur mayat. Dengan demikian tradisi (acara) yang terkait
ini tidak berlaku. Orang-orang Hindu India, mencari hari baik, dengan
konsultasi pada astrologi, hanya untuk perkawinan atau pembukaan usaha baru.
Untuk kremasi, maksimal harus dilakukan dalam 2 x 24 jam. Orang Hindu dari
etnis lain di Indonesia juga tidak terikat dengan hari baik atau buruk untuk
mengubur mayat. Apakah betul ada efek buruk bila mengubur atau
menkremasi mayat waktu Kala Gotongan, Semut Sadulur dan Pasah, yaitu akan
banyak orang menyusul mati? Belum ada buktinya. Dulu orang mati ramai-ramai
karena grubug (penyakit epidemi), sampar atau cacar, ketika vaksin penyakit ini
belum ditemukan. Sekarang karena minuman keras oplosan, narkoba, HIV/Aids.
Di banyak desa pakraman, di Bali, terutama di kota-kota, sudah banyak orang non Hindu yang bertempat tinggal. Bila ada anggota mereka yang meninggal, mereka tidak perduli dengan hari baik atau hari buruk. Di kubur saja. Apakah ini membuat anggota masyarakat di desa itu mati berturut-turut? Hukum alam berlaku untuk semua manusia apapun suku dan agamanya. Kenapa aturan hari baik buruk ini hanya berlaku untuk suku Bali yang beragama Hindu? Orang Bali yang beralih ke agama lain, tidak mengikuti aturan ini, dan tidak ada masalah.
Oleh karena mendadaknya kematian itu, terkadang banyak yang tak siap. Namun jenazah tetap harus diberikan perlakuan yang layak. Masyarakat Bali yang beragama Hindu tentunya sudah paham betul hal itu. Jenazah diberikan prosesi menurut sastra atau dresta setempat. Ada yang dibakar, dikubur, atau diletakkan begitu saja di atas tanah seperti di Desa Trunyan, Kintamani, Bangli. Di antara prosesi tersebut, ada dua hal yang sangat diperhatikan betul oleh masyarakat Hindu di Bali, yakni ritual dan hari baik.
Meski terkadang ritual bisa disiapkan dan ada hari baik, namun prosesi bisa terhalang karena adanya upacara besar di suatu desa. Contohnya adalah piodalan ageng (upacara di Pura) yang berlangsung berhari-hari, bahkan bisa satu bulan. Dengan demikian, ada dua pilihan, yakni jenazah tetap disemayamkan di rumah duka hingga menunggu saat yang tepat, atau dikuburkan dengan segera saat menjelang malam. Hal ini kerap diistilahkan dengan nyilibang, ngilidang, mekingsan (nitip) atau mamaling galah alias mencuri waktu, seolah tak ada yang tahu. Jika memilih cara ini, maka keluarga pemilik jenazah biasanya hanya mendapat bantuan dari krama banjar secara terbatas. Demikian pula, dengan adanya kesepakatan ngaben massal belakangan ini, biasanya orang yang meninggal tak langsung dibakar jenazahnya, melainkan dikubur terlebih dahulu. Dalam jangka waktu beberapa tahun, sesuai kesepakatan, jenazah-jenazah yang telah dikubur baru kemudian diberikan ritual pengabenan. Hal ini demi kebersamaan dalam suatu desa adat plus menghemat biaya dan tenaga yang dikeluarkan.
(Dari
Beberapa Sumber)
Baca Juga (Klik Dibawah
ini) :
Belum ada Komentar untuk "PROSESI PENGUBURAN JENASAH DI BALI (1)"
Posting Komentar