Tri Hita Karana
Tempat
pemakaman Hindu di Bali disebut “setra” atau “sema” (kuburan) merupakan
cerminan aktivitas manusia dengan keunikan budaya yang dimiliki masyarakatnya. Konsep
Tri Hita Karana diterapkan di dalam tipikal pola desa di Bali yang terdiri dari
parahyangan, palemahan dan pawongan.
1. Parahyangan adalah mengacu pada tempat
suci desa yang terletak pada area sakral (arah utara-timur/kaja-kangin),
2. Palemahan berkaitan dengan permukiman
beserta penunjang lainnya seperti bale banjar, wantilan yang berada pada area
tengah dari pola desa.
3. Pawongan meliputi area profane desa
(arah selatan-barat/kelod-kauh) yang terdiri dari area pemakaman beserta Pura
Dalem serta area pertanian dan perkebunan yang mengelilingi desa. Dalam
kehidupan masyarakat Bali, siklus kehidupan dari lahir dan mati selalu melalui
upacara adat dan ini berkaitan erat dengan lansekap budaya yaitu tempat suci
untuk hubungan vertikal kepada Sang Pencipta dan leluhurnya, permukiman sebagai
tempat tinggal, dan kuburan sebagai tempat akhir untuk penguburan serta
kremasi. Kuburan Bali merupakan bagian integral dari pola desa tradisional.
Secara budaya, masyarakat Bali memiliki upacara kremasi tradisional yang
disebut upacara ngaben. Upacara kremasi berlangsung di kuburan dan kemudian abu
dibuang ke laut. Hal yang sangat menarik mengenai perencanaan penggunaan lahan
di Bali adalah perencanaan yang ramah lingkungan terhadap kebutuhan pemakaman
di desa-desa tradisional. Kuburan merupakan salah satu ruang terbuka hijau.
Khususnya kuburan Bali, secara ekologis memberikan peluang sebagai hutan desa
dan sebagai penyedia oksigen dan menyimpan air tanah untuk kebutuhan kota
maupun desa. Pada kuburan Bali memiliki beberapa tanaman khusus yang hanya ada
di kuburan, diantaranya adalah pohon kepuh atau kepah (kelumpang/Sterculia
foetida) dan pohon beringin (Ficus ssp). Keberadaan pohon beringin/waringin ini
memiliki tampilan tempat yang menyedihkan dan menakutkan (Covarrubias, 1974).
Secara aturan tradisional, masyarakat Bali dilarang menanam pohon berbunga di
kuburan Bali. Pohon-pohon yang ada di kuburan merupakan tanaman langka,
biasanya pohon tersebut dibungkus dengan kain warna hitam putih (kain poleng)
yang dililitkan di sekitar batang pohon sehingga terlihat lebih menyeramkan dan
tidak akan ada yang berani memotong pohon tersebut. Desa-desa tradisional di
Bali pada dasarnya memiliki lebih dari satu kuburan sesuai peruntukannya
seperti untuk bayi, untuk masyarakat umum, dan untuk yang dituakan atau untuk
masyarakat dengan kasta tertentu.
Tentu
saja ikatan ini tetap harus dijaga dan dilestarikan mengingat berkembangnya
teknologi memberi pengaruh yang cukup kuat terhadap pola pemikiran masyarat
yang cenderung menjadikan mereka masyarakat yang statis. Nilai-nilai ini yang
terkandung dalan konsep Tri Hita Karana harus tetap dilestarikan sebagai ciri
masyarakat tradisional khususnya desa-desa Bali Aga. Perlu pemikiran khusus
selanjutnya untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dengan adanya wadah
atau jasa yang menawarkan proses kremasi yang lebih praktis, namun menggeser
nilai-nilai tradisional.
Upacara
Penguburan Jenasah
Bagi
masyarakat Bali upacara kematian mempunyai akar sejarah yang jauh di masa
lampau. Di dalamnya terdapat endapan nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan
sebagai aspek ideal. Walaupun begitu ada suatu kecenderungan, semakin tinggi
kedudukan social, semakin tinggi pula tingkatan upacara yang dilaksanakan. Penguburan
Jenazah adalah sebuah upacara pemakaman dimana
menurut umat Hindu di
Bali dalam naskah lontar Yama Tatwa,
yang berkaitan dengan mendem sawa disebutkan
bahwa apabila batas waktu dikubur telah selesai baru dibuatkan upacara ngaben yang
bertujuan untuk dapat mempercepat pengembalian unsur-unsur panca maha butha yang
melekat dalam badan kasar dan halus dari roh bersangkutan.
Urutan
upacara penguburan seperti berikut ini :
1. Memandikan jenazah dan menjalankan
upacaranya.
2. Mengusung mayat ke kuburan
3. Menguburkan jenasah
Mengusung Jenasah dan
Menguburkannya
Jenasah
diusung ke kuburan di antar oleh sanak saudara, kerabat dan warga banjar adat.
Bila memungkinkan baik sekali diiringi dengan kidung pitra yadnya yaitu
lagu-lagu keagamaan dan tetabuhan seperti angklung untuk menambah hikmatnya upacara. Dalam
perjalanan, pada jalan simpang tiga atau empat, serta di lubang kuburan usungan
jenazah di putar 3 kali ke kiri dan ke kanan baru dilanjutkan dengan mendem
sawa. (menguburkan jenasah).
Mendem sawa berarti penguburan jenasah.
Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali masih diberikan kesempatan untuk
ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti yang telah diuraikan.
Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang didalam
naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang
dikaitkan dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini.
Alasannya adalah agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara
dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka
dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya
setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu
menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendem (dikubur) dulu.
Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
Acara
selanjutnya layon dikubur (di-pendem) di Setra atau diaben. Mendem sawa dilakukan di kuburan dan tidak boleh di pekarangan rumah atau pekarangan desa
adat. Caranya peti mayat dibuka terlebih dahulu lalu jenazah diperciki tirta pengabenan dengan
urutan:
1. Tirta penglukatan, digunakan untuk membebaskan segala sesuatu
yang berhubungan dengan segala kekotoran fisik.
2. Tirta pebersihan,
mensucikan secara lahir dan
batin terhadap seluruh unsur badan manusia .
3. Tirta pengentas,
untuk memutuskan ikatan purusa dan pradana (prakerti)
sang mati i guna dikembalikan kepada sumbernya. Kalau sudah menggunakan Tirtha Pangentas Tanem,
kapan saja bisa diaben.
Tetapi kalau tidak menggunakan Tirtha
Pangentas Tanem harus diaben sebelum setahun. Kalau tidak, roh
yang bernama Preta itu
bisa menjadi Butha Diadiu yang
dapat mengganggu ketenangan umat di desa.
4. Tirta kawitan,
tirta dari para leluhur yang
telah mendahului kita.
5. Tirta kahyangan tiga berkaitan dengan Trim Kona dalam
konsep lahir, hidup, mati.
6. Dilengkapi dengan upacara banten pesaksi
a. Banten untuk Sang Hyang Praja Pati
b. Banten untuk ibu pertiwi
c. Banten untuk Pura Prajapati sebagai
sedahan Setra atau
Pengulun Bambang.
Kemudian
jenazah disemayamkan di kuburan.
Demikian
menurut keyakinan umat Hindu di Bali berdasarkan petunjuk Lontar Yama Tattwa.
Menurut Lontar
Gayatri saat orang meninggal roh atau atmannya
disebut Preta.
Setelah diaben rohnya meningkat menjadi Pitra.
Setelah Upacara Atma
Wedana sesuai dengan kemampuan Sang Jayamana atau yang
punya dan membiayai Yadnya. Namun
setiap daerah juga memiliki tradisi yang berbeda seperti halnya upacara adat penguburan di daerah Trunyan , yang memiliki tiga jenis kuburan yang menurut
tradisi desa Trunyan, ketiga jenis kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan
umur orang yang meninggal dunia, keutuhan jenasah dan cara penguburan yaitu
:
1. Kuburan utama, dianggap paling suci dan
paling baik yang disebut Setra Wayah. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh,
tidak cacat, dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau
kecelakaan).
2. Kuburan muda, diperuntukkan bagi bayi
dan orang dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan syarat jenasah tersebut
harus utuh dan tidak cacat.
3. Kuburan Setra Bantas, khusus untuk
jenasah yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal
dunia secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).
Baca Juga (Klik Dibawah
ini) :
Belum ada Komentar untuk "UPACARA PENGUBURAN JENASAH DI BALI - 2"
Posting Komentar