Dalam keseharian saya sering mendapat
pertanyaan, seperti : Apa makna dan fungsi kajang pada waktu upacara pengabenan, Kajang apa saja
yang harus saya pakai, Siapa yang boleh “membuat” kajang. Dan pertayaan-pertanyaan yang lain yang
terkait dengan Kajang. Untuk itulah
artikel mengenai Kajang ini disajikan, yang dikompilasi dari berbagai sumber.
Semoga bermanfaat.
Kajang dalam tradisi Hindu Bali merupakan
simbol (pengawak) dari badan rohani dan jasmani orang yang telah meninggal. Kajang
adalah selimut orang yang meninggal yang dibawa menuju kealam sorga. Oleh sebab
itu aksara-aksara modre dalam kajang memiliki kaitan erat dengan tattwa-tatwa
agama, khususnya ajaran kedyatmikan seperti tutur Kelepasan dan ajaran kemoksan
yaitu ajaran untuk mencapai tujuan akhir menuju Sang Pencipta. Kajang
merupakan simbol atman yang dilukiskan dengan aksara dan gambar-gambar suci,
penggunaan kajang ini dalam upacara pengabenan adalah diletakkan diatas
jenazah/petinya seperti selimut. Sebelum dapat digunakan sesuai dengan nilai
spiritualnya harus dilaksanakan upacara Ngajum Kajang, Setelah selesai ngajum
kajang barulah kajang ini dinyatakan telah memiliki nilai spiritual atau daya
magis, pada saat pemberangkatan jenazah menuju kuburan (Setra/Patunon) kajang
ini diletakkan di atas jenazah yang diusung menggunakan wadah/bade, dan
nantinya akan dibakar bersama jenazah. Praktik
berritual di Bali tidak terlepas dari pengunaan simbol atau atribut yang
dipandang sakral magis. Simbol dan atribut tersebut boleh dikatakan sebagai
media untuk menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja. Jadi atribut
upacara dalam bentuk apapun di Bali, terlebih atribut berritual dipandang
sebagai sesuatu yang istimewa, dan memiliki kedekatan makna dengan teologis
(perihal tentang Tuhan). Salah satu atribut yang menarik ditelisik adalah
atribut dalam upacara ngaben, yakni Kajang. Memang secara
kodrati, kita meyakini karmaphala sebagai hasil perbutan yang menentukan tempat
sang roh akan kemana setelah kematian. Kajang memiliki makna simbolis dari lapisan
yang membungkus Sang Atman sebagai Tri Sarira,
Sukma sarira, dan
Antah karana.
Cerita awal tentang kajang ini terdapat dalam
Kakawin Bharatayudha, diceritakan dalam kakawin tersebut Dewi Arimbi (Hidimbi)
meminta sebuah kerudung kepada Dewi Drupadi untuk menutup diri dalam perjalanan
yang panas untuk menemui nenek moyang (leluhur) agar tidak mendapat rintangan
dalam perjalannya menuju Sorga. Dalam kisah ini tersirat nilai yang sangat
mendalam tentang fungsi, dan makna penggunaan kajang dalam upacara ngaben. Kajang
memiliki nilai spiritual sebagai tanda restu dari sanak keluarga, Sang
Sulinggih, dan Bhatara Kawitan terhadap kepergian Sang Lina (yang meninggal)
untuk manunggal kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Dewi Arimbi (Dewi
Hidimbi)
Arimbi atau Hidimbi adalah salah satu tokoh
protagonist dalam wiracarita Mahabharata. Dia menikah dengan salah satu
ksatria Pandawa, yaitu Bima (Werkudara/Bratasena) dan puteranya adalah Raden
Gatotkaca. Ia memiliki sifat jujur, setia, berbakti dan sangat sayang terhadap puteranya. Arimbi adalah
puteri Prabu Arimbaka, seorang raja raksasa di negara Pringgadani. Arimbi
memiliki tujuh saudara kandung. Kisah pertemuan Arimbi dan Bima terjadi saat para Pandawa sedang
membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal. Saat itu Ia dan
saudara-saudaranya, yang memang dari bangsa raksasa sedang jalan-jalan
mengelilingi hutan Waranata sambil mencari mangsa yaitu manusia yang akan
dijadikan santapannya. Ia melihat Bima yang sedang membuka hutan, Arimbi
terpesona dengan ketampanan Bima. Ia pun jatuh cinta kepada ksatria kedua
Pandawa itu. Ia kemudian memeluk kaki Bima. Namun Bima tidak suka dengan
perbuatan Arimbi, selain itu saat itu Ia masih berwujud rakshasi, ia pun
mengibaskan kakinya. Kunti yang saat itu memperhatikan kejadian tersebut,
segera menghampiri. Dan berkata, “
Kasihan benar, kamu anak cantik, wahai anakku tidakkah kau lihat betapa
cantiknya puteri ini?”. Ternyata apa yang dikatakan oleh Dewi Kunti menyebabkan
roman muka Dewi Arimbi menjadi seorang puteri yang cantik jelita. Akhirnya hati
Werkudara pun luluh setelah melihat kecantikan Arimbi. (Hadisukirno).
KISAH
SANG JIWA KE DUNIA
Sang Jiwa diperintahkan oleh Sang Hyang Titah
pencipta dan pengatur semesta turun ke dunia. Lalu Sang Jiwa bertanya : “Bagaimana caranya aku turun ke dunia?”
Sang Hyang Titah memberi penjelasan: “Engkau
akan turun dalam bentuk aksara”.
Sang Jiwa kembali bertanya : “Apa itu aksara?”
Sang Hyang Titah memberi jawab : “Aksara adalah
keabadian. Aksara adalah hening sebelum penciptaan semesta. Di dalamnya
bertumbuh suara aksara. Ia adalah benih-benih terjadinya alam semesta. Ketika
semesta diciptakan, yang muncul kepermukaan adalah suara dan biji-biji suara,
dalam dengung. Dalam berbagai suku kata berkumandang di alam raya. Om adalah
yang tertinggi dan abadi. Lalu pecah menjadi berbagai dengung suara yang
terbagi menjadi suara aksara-aksara yang menjadikan unsur-unsur penciptaan
terjadi. Waktu, ruang, jiwa dan alam raya. Jiwa adalah aksara dan suaranya.
Jika jiwa ingin mendapat tubuh, ia berdengung dalam berbagai ragam aksara,
suara-suara itu yang akan menjadi material tubuh. Tubuh yang tercipta dari
dengung ini mengikat dan mewadahi jiwa.”
Sang Jiwa merasa perlu dijelaskan lebih jauh : “Jika
aksara menjadikan aku bertubuh, apakah aku akan terikat dan tak terlepas?
Apakah aku kehilangan kesucianku?”
Jawab Sang Kuasa : “Tubuhmu adalah suara aksara
yang mengental. Jika engkau ingin menyucikan tubuhmu, dengungkan kembali
aksara-aksara itu sampai bersuara. Suara aksara itu akan melembekkan semua
kebekuan jiwa, meluluhkan kekeruhan hati dan jiwa. Sebagaimana air jika ingin
memisah diri dari berbagai kotoran yang kadang melewati atau mengambang di atasnya,
ia harus menyusup ke dalam pertiwi, begitu juga tubuh yang tak lain suara
aksara, ia akan kembali ke kualitas aksara ketika kembali berbagai aksara itu
diucapkan dan tata ulang kembali dalam ucap suara aksara. Tubuh disusupkan
kembali ke dalam suara aksara. Air disucikan dengan menyusup dalam pertiwi atau
diuapkan ke akasa; tubuh disucikan kembali dengan menyusup dalam suara aksara”.
Sang Jiwa pun berangkat setelah mendengar titah Sang Hyang Titah.
Sebelum berangkat, Sang Jiwa bertanya kembali :
“Jika aku ingin kembali berjumpa denganMu, bagaimana caranya?”
Jawab Sang Hyang Titah : “Sama seperti saat
engkau ke dunia, turun dalan bentuk dan berbekal aksara. Maka ketika kembali
kepadaku, kembalilah dalam bentuk aksara.”
Sang Jiwapun turun bertangga dan berpusar dalam
aksara. Menjadi putaran suara aksara dan menjelma menjadi tubuh.
AUM
Sang Jiwa tak lain dari aksara yang menjelma menjadi
tubuh. Untuk kembali Sang Jiwa dikembalikan ke dalam bentuk aksara dan suara
aksara.
Upakara atau ritual kematian, di Bali, untuk
mengembalikan Sang Jiwa dikenal dengan nama Upakara Ngeringkes
(atau Ngelelet). Melalui tata cara Ngeringkes (atau
Ngelelet) tubuh
orang yang telah berpulang disucikan kembali ke asalnya, yaitu dengan aksara suci.
Sang Jiwa yang turun ke dunia dengan sarana aksara, dikembalikan ke titik
muasalnya yaitu suara suci. Demikian juga isi dari Kajang (Kain putih bertulis
berbagai aksara suci) adalah jalan mengembalikan tubuh kembali ke hakikat suara
aksara, yang menjadi muasalnya sebelum terbentuk dan masuk dalam tubuh yang
dibentuknya sendiri dengan dengung suara aksara. Sang Hyang Titah adalah “Ongkara
Mula”. Inilah ditulis dan diucapkan kembali suaranya. Tubuh sang Jiwa di dalam
suara dalam Aksara Krakah-Mudra, Aksara Wrestra-Nuriastra dan Aksara Swalalita.
Ketiga pembagian aksara itu dikenal sebagai Tri Kona yaitu esensi
perjalanan Sang Jiwa ketika mengalami kehidupan bertubuh: Utpti, Stiti, Pralina
(lahir, hidup, mati). Sang Jiwa yang lahir, tumbuh bertubuh, dan ketika
berpulang kembalinya adalah dengan suara
aksara. Sang Jiwa yang bertubuh, jika ingin selaras dengan muasal dan Sang
Hyang Titah, ia harus menjalankan doa harian menghayati dan mendengungkan
kembali berbagai suara aksara tubuhnya. Pesan ajaran itu mengatakan: “Suarakan,
pahami posisi, hayati, hidupkan sampai bergetar semua aksara-aksara itu”.
1. HA = dengung suara aksara Ati Putih
2. Na = dengung suara aksara Nabi (pusar)
3. Ca = dengung suara aksara cekoking gulu (ujung leher)
4. Ra = dengung suara aksara tulang dada (tulang keris)
5. Ka = dengung suara aksara pangrengan (telinga)
6. Da = dengung suara aksara dada
7. Ta = dengung suara aksara netra (mata)
8. Sa = dengung suara aksara sebuku-buku (persendian)
9. Wa = dengung suara aksara ulu hati (madya)
10. La = dengung suara aksara lambe (bibir)
11. Ma = dengung suara aksara cangkem (mulut)
12. Ga = dengung suara aksara gigir (punggung)
13. Ba = dengung suara aksara bahu (pangkal leher)
14. Nga = dengung suara aksara irung (hidung)
15. Pa = dengung suara aksara pupu (paha)
16. Ja = dengung suara aksara jejaringan (penutup usus)
17. Ya = dengung suara aksara ampru (empedu)
18. Nya = dengung suara aksara smara (kama)
Ajaran “Hanacaraka ring sarira” (ha-na-ca-ra-ka
dalam anatomi tubuh-jiwa) adalah salah satu metode memasuki hening dengan
memahami dan menggetarkan anatomi suara aksara tubuh yang beririsan dengan Sang
Jiwa. Ajaran suci suara aksara tubuh yang lebih luas menjelaskan anatomi tubuh
Sang Jiwa terdiri dari 112 simpul suara aksara, secara umum manusia memiliki
108 suara aksara yang membuatnya terkoneksi dengan proses penciptaan awal,
Sangkan Paraning Dumadi. Sang Jiwa turun ke dunia dalam bentuk suara aksara,
kembali lagi ke Sang Hyang Titah dalam bentuk suara aksara juga.
(Tatkala.Co, Catatan Harian Sugi Lanus).
BACA
JUGA, KLIK DIBAWAH INI :
Belum ada Komentar untuk "KAJANG, UNTUK APA ? "
Posting Komentar