AJARAN
BHAIRAWA
Parvati, sering bertanya kepada Siwa mengenai
pengetahuan rohani. Siwa memberikan jawabannya, dan kumpulan tanya-jawab
tersebut dikenal sebagai Tantra Shastra. Prinsip-prinsip Tantra terdapat dalam Nigama,
sedangkan praktik-praktiknya dalam buku Agama. Sebagian buku-buku kuno itu
hilang dan sebagian lagi tak dapat dimengerti karena tertulis dalam tulisan
rahasia yang dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaannya. Ajaran Sekte Bhairawa
merupakan ajaran pembangkitan kundalini enam cakra dalam tubuh manusia,
pengolahan daya bathin untuk menimbulkan kekuatan-kekuatan gaib/mistik.
Konsepsi-Ketuhanan (Theisme) dalam Tantrayana adalah Monoisme yaitu pemujaan terhadap satu Tuhan yang disebut Brahman. Konsep ini dijelaskan dalam Mahanirwana Tantra dengan suatu kalimat berbunyi: “Om Saccidekam Brahman” (Om, hanya satu kesadaran tertinggi yang disebut Brahman), Konsep Monisme ini muncul dari pandangan Advaita dalam Wedanta Darsanam. Ajaran Tantrayana dibentangkan dalam kitab-kitab Tantra-Sastra yang juga disebut kitab-kitab agama yang banyaknya kurang lebih 64 buah. Panca Makara merupakan lima ajaran dan ritual inti yang digunakan sebagai dasar dan acuan dalam mencapai Moksa. Ajaran Panca Makara menurut Tantrayana yang asli, bersumber dari kitab Kali Mantra dan kitab Mahanirvana Tantra jelas disebutkan sebagai berikut (terjemahannya saja):
(“Mabuk, memakan daging, memakan ikan,melakukan
sexualitas dan meditasi, akan menuntun kepada Moksha pada jaman Kaliyuga ini”).
Dalam Kitab Maha
Nirvana Tantra tercantum:
(“Minum, teruslah minum hingga kamu terjelembab ke
tanah. Lantas berdirilah kembali dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan
terbebas dari punarjanma (kelahiran kembali) dan mencapai kesempurnaan. /Moksha.”).
Maksud dari ayat yang dipaparkan dalam Kitab
Kali Mantra adalah, dengan ritual tersebut,
maka akan dicapai Moksha pada jaman Kaliyuga yang tengah berlaku sekarang.
Ritual Panca Makara terdiri dari :
1. Matsya dalam bahasa Sansekerta berarti ikan. Penganut
Sekte Bhairawa yang menyimpang mengartikan harus memakan ikan agar bisa Moksa.
Ajaran Bhairawa yang sesungguhnya justru tidak menganjurkan seseorang untuk
menangkap dan memakan ikan agar dapat mencapai Moksa. Artinya jadilah seekor
ikan yang menyelami sungai/lautan kehidupan, jangan malah menolak kehidupan dan meninggalkan
dunia. Matsya bukan lagi
pemujanya memakan ikan sampai muntah, tetapi dijadikan persembahan pokok
sebagai isyarat bahwa seorang Bhairwin sejati hendaknya meyelam laksana ikan ke dalam
samudra pengetahuan.
2. Mamsa dalam Bahasa
Sansekerta berarti daging, dan umumnya mereka yang salah menganggap Mamsa
artinya harus makan daging (semua daging), bahkan tak jarang beberapa oknum
juga nekat memakan daging manusia sebagai pemenuhan unsur mamsa ini. Pemahaman
itu sangat keliru, yang dimaksudkan bukan harus makan daging, justru dalam
ajaran tersebut untuk mendapatkan kesadaran tertinggi dilarang untuk makan
daging),, artinya walaupun menyelam dalam keduniawian, tetaplah mengawasi
liarnya dagingmu/ egomu. Mamsa bukan lagi pemujanya memakan daging sepuasnya,
tetapi dijadikan inti persembahan sebagai simbolisasi pembinasaan sifat hewani dalam
diri.
3. Madhya atau Mada dalam Bahasa Sansekerta berarti minum. Makna sebenarnya adalah jangan pernah menyentuh minuman, selain yang tercipta murni, seperti air putih, untuk mencapai kesempurnaan jiwa mencapai Moksa. (Minum hingga mabuk berat), artinya minumlah dan reguklah spiritualitas, walau hidup dalam materi, minumlah spiritualitas itu hingga kamu mabuk dengannya. Mada bukan lagi pemujanya minum minuman keras hingga mabuk, tetapi hanya dijadikan sarana persembahan simbolisasi dari pengendalian segala kemabukan dalam diri, yakni mabuk harta, perempuan, jabatan, kemasyuran dll.
4. Mudra berarti tarian yang mencapai klimaks. Secara umum Mudra memiliki banyak arti, ada yang mengartikan sebagai menari hingga lemas, ada juga mengartikan sebagai makanan yang sudah direbus. Pengikut Sekte Bhairawa umumnya sangat gemar menari, setiap ritual mereka tidak akan berhenti menari sebelum mencapai klimaks atau kelelahan. Mudra sikap tangan dipraktekkan dalam bentuk postur jari khusus untuk mengarahkan pikiran dan energi pada sang Bhairawa dan Bhairawi agar hadir dalam bentuk kuasa energi yang dasyat, menghancurkan segala bentuk kekeruhan bhatin dan kekotoram pada alam makro dan mikro
5. Maithuna artinya
hubungan seksual. Pemahaman tentang Maithuna yang paling besar dampak kesalah pahamannya.
Banyak oknum yang menganggap dengan berhubungan seks bareng-bareng di Ulun
Setra/Kuburan sebanyak mungkin, akan dapat mencapai Moksa dengan mudah.
Sedangkan maksudnya capailah orgasme spiritual, satukan sakti/kundalini dengan
atmanmu. Maithuna tidak lagi dipraktikan melalui hubungan badan (sex)
sepuasnya tetapi dipraktikan dalam sikap asanas dalam pemujaan, yakni lidah disentuhkan ke langit-langit simbol
penyatuan yang rahasia.
Dalam ajaran Tantra Bhairawa, ritual-ritual Panca
Makara, benar-benar dijalankan apa adanya.
Ada beberapa pendapat dan spekulasi yang menyatakan bahwa ajaran Tantra Bhairawa adalah hasil dari pecahan Hindu Ciwa dengan pecahan Budha Mahayana. Aliran ini adalah sekte kebalikan dari ajaran Hindu yang menyatakan, “untuk mencapai nirwana, manusia harus meninggalkan sisi keduniawian atau meninggalkan keinginan”. Pengikut Bhairawa menolak menyembah langit atau Tuhan untuk mencapai nirwana dan memilih menyembah Dewi Bumi. Ajaran Bhairawa Tantra sebenarnya bukan merupakan sempalan dari penganut ajaran Hindu dan Budha. Sadaka yang belajar Tantra Bhairawa ada beberapa tingkatan yang hendaknya dilalui.
1. Tingkatan pertama, yakni sadaka hendaknya tidak menjalankan
aturan-aturan tertentu dengan ketat, misalnya maituana (berhubungan badan) boleh
sadaka melakukan sepuasnya asal dengan pasangan yang tepat (hubungan suami
istri).
2. Tahapan kedua, yakni sadaka melakukan beberapa pantangan
khusus,
3. Tahapan terakhir adalah melakukan pantangan yang ketat. Memasuki
tahapan terakhir inilah Panca Makara hendaknya dipahami secara mendalam, bukan
kulit luarnya, sehingga kebahagiaan yang maha tinggi akan dirasakan oleh
sadaka.
Tantrayana mengajarkan agar badan, perkataan,
serta pikiran digiatkan oleh ritual, mantra, dan samadi.
RITUAL
Pengikut sekte ini justru melakukan
ritual-ritual tertentu yang bagi selain mereka dianggap sebagai larangan. Hal
ini sebagai usaha agar manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan
mempersatukan dirinya dengan Dewanya yang tertinggi. Ritual mereka bersifat rahasia
dan sangat mengerikan, yaitu menjalankan Panca Makara Puja. Ritual di kuburan
selalu identik dengan laku Tantrayana, kuburan atau lapangan mayat menurut
penganut ajaran ini dianggap sebagai tempat ikatan Samsara dilepaskan. Tempat
di mana kehidupan duniawi berakhir. Lapangan mayat adalah tanah suci yang
paling tepat untuk melakukan tindakan
upacara bernilai tinggi, khususnya upacara pembebasan. Pelaksanaan ritual dalam
Sekta Bhairawa hampir ada kemiripan dengan ritual Budha Bajrayana yang
berkembang di Tibet. Di Tibet sarana pemujaannya
menggunakan tengkorak bhiksu suci yang sudah meninggal sebagai tempat darah,
dan menggunakan japa mala dari tulang manusia. Sesugguhnya implikasi dari
pemujaan ini adalah mendamaikan dan menetralisir segala kekuatan negatif yang
ada di bumi. Menggunakan sarana ritual yang ekstrim sesungguhnya adalah sebagai
media di dalam menghubungkan diri dengan Siva agar berkenan memberikan anugrah
keseimbangan semesta.
Ritual Panca Makara puja ini, selain dilaksanakan oleh Kertanegara juga dilaksanakan oleh Adityawarman, raja dari kerajaan Melayu yang juga menantu dari raja Majapahit. Mungkin ini terlalu dilebih-lebihkan yang menyatakan : Penobatan Adityawarman dilaksanakan di tengah-tengah lapangan mayat. Sambil duduk di atas timbunan mayat yang berbau busuk, sang raja tertawa sambil meminum darah. Anehnya, konon bagi Adityawarman mayat tersebut harum semerbak baunya. Ritual ini sangat jelas tergambar dari patung Adityawarman di Museum Nasional yang terlihat tengah memegang cawan darah, dan tengkorak menjadi pijakannya. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual Matsya. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau kendaraan Siwa dalam perwujudan sebagi Siwa Bhairawa adalah serigala karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala merupakan hewan pemakan bangkai.
Kertanegara
Lalu mengapa dengan pengorbanan darah tersebut?
Bhairawa memang selalu melaksanakan cara
yang ekstrim. Tetapi cara yang demikian hanyalah sebuah simbol rahasia yang
mengalir dari percakapan Bhatara Siwa dan Bhatari Uma.
1. Hewan
dipotong dan darahnya di jadikan persembahan pada lingam, simbol untuk
menaklukkan kebuasan.
2. Minuman
keras dipersembahkan simbol segala kemabukan duniawi hendaknya dipersembahkan
atau dikembalikan/dikendalikan. Melalui ritual persembahan khusus darah
binatang dan minuman keras makhluk (virus) penyebar wabah dapat dinetralkan.
3. Uang
dipersembahkan simbol untuk jangan diperbudak harta kekayaan.
4. Bunga
dipersembahkan sebagai bentuk penyucian (ktarsis),
5. Buah
dihaturkan simbol pengabdian dengan mempersembahkan segala bentuk tindakan.
6. Dupa
simbol kebangkitan cahaya,
7. Tirtha
simbol kehidupan sebagai amrtam.
8. Mantra
dan Mudra sebagai nyanyian dan gerak simbol keteraturan dari gerak alam.
Hidup kalau mau subur ikuti gerak alam
sebagaimana ia berjalan secara alami dalam keteraturannya,
Di dalam kitab Mahanirwana Tantra dibentangkan prinsip-prinsip upacara Panca-Yajna yang perlu dilaksanakan. Disebutkan pula materi atau sarana-sarana yang digunakan upakara termasuk penggunaan binatang korban dalam kaitannya dengan caru. Tantrayana secara rinci menjelaskan tata-cara melakukan yajna serta kepada siapa yajna itu dipersembahkan. Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra Sastra yang memuat ajaran Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk upakara dan upacara yajna yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat adanya pengaruh dari Tantrayana, di samping juga berpegang kepada berbagai Sastragama Hindu sebagai penjabaran dan Catur Weda
Pengendalian diri melalui tapa dan brata
sangat ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal dan akar kata tap
artinya panas. Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita) kepada Brahman dalam
manifestasi tertentu. Di dalam melaksanakan pemusatan pikiran itu badan akan terasa
panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang muncul pada diri kita ketika
memusatkan pikiran itu, akan membakar kekotoran (mala) yang melekat pada
Sthulasarira, suksmasarira dan antahkarana (malatraya). Brata adalah suatu
disiplin batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan dan larangan; apa yang
harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Mahanirwana Tantra yang
dijadikan dasar pegangan oleh Tantrayana sangat kaya dengan Puja dan Mantra,
Mantra-mantra seperi : Mula Mantra, Bija-Mantra, Kutha Mantra, Astra Mantra,
dan Kawaca Mantra serta berbagai Wijaksara (magic sylable). Mudra dan Nyasa
(lambang-lamhang gaib) dalam konteks upacara agama, sampai sekarang digunakan oleh Sulinggih di
Bali.
BACA
JUGA Klik Di Bawah Ini :
Prosesi Penguburan Jenazah di Bali
Belum ada Komentar untuk "BHAIRAWA, PESTA SEX DI KUBURAN ?? - 2"
Posting Komentar