SITUS PURBAKALA
Tantra menjalankan ibadahnya di
bangunan-bangunan megalitik. Candi Sukuh, Bukti Fisik Keberadaan dan Jejak
Tantrayana. Di Jawa Tengah, misalnya, kita dapat melihat bukti tersebut di
komplek Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan tulisan candrasangkala di gapura
teras 1 dan 2, candi ini didirikan antara tahun 1437-1456 M; jadi di era
Majapahit menjelang keruntuhannya. Struktur bangunan candinya sendiri berbentuk
piramida—mirip peninggalan budaya Maya di Meksiko atau Inca di Peru.
Candi Sukuh.
Ada yang mengatakan bahwa Candi Sukuh
dibangun oleh pengikut Siwa, ditandai dengan relief Kidung Sudamala dan relief
lingga-yoni (yang jumlahnya lebih dari satu). Kidung Sudamala (diadaptasi dari
salah satu parwa Mahabharata) mengisahkan lakon Sadewa (bungsu Pandawa) yang menyembuhkan
putri seorang pertapa Ni Padapa yang
buta dan juga harus membebaskan Bhatari Durga (dewi utama sesembahan Tantris).
Terdapat tiga jenis peninggalan Bhairawa purbakala
yaitu :
1. Bhairawa Heruka yang
terdapat di Candi/Biaro
Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi Budha aliran Vajrayana yang
terletak didesa Bahal . Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, serta situs Biaro/ Candi Tandihat II berada di Desa Tandihat, Kecamatan Barumun Tengah,
Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara Tingginya sekitar 4,41 m.
Sosoknya menyeramkan. Ia berdiri di atas mayat seorang guru bertubuh kecil,
dengan kaki terlipat di bawah badan, yang berbaring tanpa pakaian di atas
sekumpulan tengkorak manusia. Sosok itu memegang sebilah pisau dan mangkuk. Dua
ekor ular melingkari kakinya. Ia seperti mengenakan sarung kotak-kotak dengan
hiasan tengkorak di tengahnya. Ikat pinggangnya berhias kepala kala. Kedua
pergelangan tangan dan lengannya memakai gelang ular. Atribut arca Heruka ialah
wajra atau kilap disertai petir pada tangan kanan, mangkuk tengkorak pada
tangan kiri, tangkai katwanggu (Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak
manusia dan sebagainya) menekan pada badannya. Keadaan seperti itu dalam
upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan disertai dengan
tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu prasasti di Padang
Lawas.
Adityawarman adalah
panglima Kerajaan Majapahit. Ia diutus untuk ekspedisi ke Darmasraya, Sumatera tahun
1347. Di sana, Adityawarman dijadikan raja Pagaruyuang . Wujudnya pun
diabadikan menjadi patung raksasa di Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas. Kini,
arca Bhairawa Heruka itu ditempaatkan di
salah satu ruang utama Museum Nasional.
2. Arca Bhairawa Kalacakra, Kertaanegara dapat
ditemukan di candi Singasari, Jawa Timur, tingginya 167 cm, duduk
di atas seekor anjing atau Srigala dalam keadaan telanjang bulat dengan
hiasan-hiasan tengkorak manusia pada
seluruh badannya. Atribut pada tangan arca ialah sebuah pisau besar, trisula,
gendang, dan mangkok tengkorak. Raja Singasari Kertanegara menganut Bhairawa Kalacakra, untuk mengimbangi
kekuatan Kaisar Mongol Khu Bhi Lai Khan yang menganut Bhairawa Heruka. Adityawarman
juga menganut Bhairawa Kalacakra, ajian yang
cenderung digunakan untuk mendapatkan kharisma besar.
Seperti
halnya dalam dunia politik, pengendalian
pemerintahan dan menjaga keamanan wilayah kekuasaan kerajaan sangat diperlukan.
Karena itu raja-raja dan petinggi pemerintahan serta pemimpin masyarakat pada
zaman dahulu banyak yang menganut aliran sekte ini. Kalacakra selain sebagai
ilmu kedigjayaan, juga dipakai dalam ilmu rajah Kalacakra , ajian ini bermula dari penulisan mantram sakti di
dada Batara Kala oleh Batara Guru yang menyamar
sebagai dalang Kandhabuwana. Dan dibuatnya Rajah Kalacakra
dimaksudkan agar siapapun yang bisa membacanya dan siapa saja yang bisa
mengucapkan mantram tersebut tidak akan menjadi korban dan tidak akan diganggu
oleh Batara Kala sebagai pembawa sengkala.
JAINISME, agama yang atheis, Klik Di Sini
Rajah Kalacakra menjadi sebuah kekuatan gaib yang merubah suatu keburukan menjadi kebaikan, sebuah doa kepada Yang Maha Kuasa supaya merubah suatu kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik. Semua kejadian buruk dalam kehidupan manusia dipercaya selain sebagai suratan nasib/takdir , juga banyak berkaitan dengan karma. Bisa karma dari masa lalunya, karma dari perbuatan-perbuatannya yang sekarang, karma dari kondisi kelahirannya, juga imbas dari karma / kesialan yang dibawa oleh orang lain (misal : ikut menjadi korban kecelakaan lalu-lintas, dsb). Pada perkembangan selanjutnya Rajah Kalacakra diwujudkan menjadi mantra untuk menangkal berbagai kekuatan magis jahat yang dapat mengganggu keselamatan lahir dan batin. Selain digunakan untuk melindungi diri dari gangguan dan serangan gaib mahluk-mahluk halus, juga memberikan perisai pagaran gaib kepada para penggunanya agar terhindar dari segala keburukan atau ketidak-nyamanan dalam kehidupan. Oleh karena itu, Rajah Kala Cakra sering digunakan dalam ruwatan-ruwatan tradisi Jawa dengan membacakan mantra-mantranya. Di India sendiri upaya ruwatan dan bersih diri banyak juga dilakukan, terutama berupa ritual khusus di sungai Gangga .
3. Dari
jaman Kebo Parud di Bali, di daerah Pejeng didapatkan sebuah arca Bhaiwara.
Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap, berdiri
di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan Dewa Siwa dalam
keadaan marah (krodha). Arca Bhairawa
Bima di Bali kini ada di Pura Kebo Edan, Bedulu Gianyar. Patung setinggi 3,6
meter inilah daya tarik utama Pura Kebo
Edan. Arca ini diperkirakan berasal dari pertengahan abad XIV M, yaitu pada
masa kekuasaan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten , raja terakhir Kerajaan Bedahulu; bahkan kemungkinan
menggambarkan perwujudan raja itu sendiri. Akan
tetapi, pakar yang lain berpendapat bahwa arca ini kemungkinan peninggalan
Raja Kertanegara tatkala
menaklukkan Bali pada abad XIII. Patung tersebut tampak sedang berkacak
pinggang dengan kaki mengangkang, rambut gimbalnya tergerai, wajahnya kurang
jelas karena konon ia mengenakan topeng dengan pita pengikat di belakang
kepala. Kaki kanan dan kiri masing-masing dibelit oleh seekor ular . Ular adalah salah satu cirri bhairawa (dewa yang
sedang menunjukkan kehebatan, kekuatan, dan sisi seramnya). Ciri lainnya,
adalah upacara pengorbanan manusia .
Posisi arca Siwa Bhairawa ini seolah sedang menari di atas mayat manusia. Sementara itu,
setelah mengamati posisi dan bentuk kelamin arca, serta ciri-ciri yang lain
(ular, tubuh yang gemuk tegap, sikap kaki), Beranet Kempers berpendapat
bahwa arca ini merupakan perwujudan Siwa sebagai Bima ; mirip dengan perwujudan Bima pada
relief-relief candi Jawa Timur. Di halaman pura
Kebo Edan terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu
bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi
ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca
raksasa masing-masing tangannya membawa mangkok-mangkok darah yang dihiasi
dengan hiasan-hiasan tengkorak. Arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman
mukanya sangat mengerikan dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan
lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak, sambil menghisap darah musuhnya
dari mangkok darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan
hiasan tengkorak pula.
Setelah permaisuri Mahendradhatta mangkat lebih dahulu dari raja Udayana dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada pada badan seekor kerbau besar. Lebih jauh, perwujudan arca Bhairawa ini beserta segenap kelengkapannya, mengisyaratkan adanya kultus Tantrayana .
BACA JUGA, Klik Di bawah ini
Belum ada Komentar untuk "SITUS TANTRAYANA BHAIRAWA - 3"
Posting Komentar