TANTRAYANA
DI NUSANTARA
Dasar-dasar paham Tantra sebenarnya telah ada
di India sebelum bangsa Arya datang di India, yang dianut oleh penduduk asli
India tersebut. Karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India, maka
oleh bangsa Arya disebut Sudra Kapalikas. Paham Tantrayana juga mempengaruhi agama Buddha, terutama aliran
Mahayana. Seperti kita ketahui bahwa dalam Buddha terdapat dua aliran: Mahayana
dan Hinayana yang muncul pada abad pertama Masehi. Mazhab Mahayana
menitikberatkan kepada usaha saling membantu antar pengikutnya dalam mencapai
kebebasan jiwa (nirvana), sedangkan Hinayana lebih bersifat individualistis
dalam mencapai nirwana. Aliran Hinayana berkembang di Sri Langka, Burma, dan
Thailand, namun kemudian tak berkembang dan lebih dulu menghilang. Sementara
itu, Mahayana berkembang seiring dengan pesatnya paham Tantrayana yang ikut
melebur di dalamnya (disebut Tantra Vajrayana atau Tantra Mahayana).
Agama
Tantrayana
Di India sendiri ajaran Buddha menghilang dan kemudian lebih banyak dianut di Asia Timur dan Tenggara. Pada abad ke-7 Tantrayana menyebar ke Tibet, Cina, Korea, Jepang, hingga Indonesia (Jawa dan Sumatra). Malah, pada abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat studi Mahayana di Asia Tenggara.
Mazhab Tantrayana memiliki akar pandangan yang sama dengan Mahayana, khususnya dalam hal Yogacara. Namun, Tantrayana berbeda dengan Mahayana dalam hal tujuan, wujud manusia yang telah mencapai tujuan Tantrayana, dan cara pengajarannya. Hal ini terlihat salah satunya dari pemujaan terhadap sakti Boddhisatwa dan pemujaan terhadap kekuatan gaib dari Dhyani Buddha. Ajarannya lebih bersifat esoterik karena penyebarannya bersifat rahasia dan tersembunyi. Tantra diajarkan oleh seorang guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian.
Di Nusantara masuknya saktiisme, Tantrisme dan Bhairawa, dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana terdapat pada prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan Tibet. Selain di Sriwijaya, aliran ini berkembang pula di Jawa Tengah pada abad ke-8, Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci, Candi Kalasan, untuk memuja Dewi Tara. Dewi Tara merupakan salah satu bentuk penyimpangan Buddha Mahayana karena dewi tersebut dianggap sebagai istri (sakti) para Dyani Buddha; padahal Buddha sendiri menilai kama (syahwat) merupakan musuh terbesar manusia. Arca Ciwa Bhairawa yang merupakan perwujudan Adityawarman yang berdiri di atas mayat dengan singgasana dari tengkorak kepala yang merupakan pendiri Kerajaan Pagaruyung dapat dijumpai di Sumatra Barat.
Selain di Sriwijaya, aliran ini berkembang
pula di Jawa. Diperkirakan 674 Masehi,
di Jawa, Kerajaan Kalingga yang dipimpin
Ratu Shima, wilayah kekuasaannya dari Jepara hingga Dieng. Banyak penduduknya
menjadi penganut Bhairawa Tantra. Di Jawa Timur abad ke-10 pun keberadaan
penganut Tantra telah diakui oleh Mpu Sindhok, Raja Medang, pendiri Wangsa
Isana. Meski Raja Sindhok penganut Siwa, ia menganugerahkan Desa Wanjang
sebagai wilayah sima (yang dibebas pajakkan) kepada pujangga bernama Sambhara
Suryawarana yang menyusun kitab Tantra, Sanghyang Kamahayanikan.
GANESHA DEWA PENANGKAL RINTANGAN. Klik disini
Raja terakhir Singasari (sebelumnya bernama Tumapel) yakni Kertanagara (1268-1292), pada Pararaton, ia disebut Bhatara Siwa Buddha, yang berarti ia memeluk Hindu-Siwa sekaligus Buddha. Nagarakretagama karya Mpu Prapanca menguraikan bahwa raja ini, karena telah menguasai ajaran Siwa dan Buddha, maka disebut telah terbebas dari segala dosa; bahkan pesta minuman keras adalah salah satu acara ritual agamanya. Bahkan ketika diserang tentara Kubilai Khan dari Mongol, Sang Raja tengah melakukan ritual Tantra bersama para menteri dan pendeta, dalam keadaan mabuk minuman. Sebagai penganut dua agama, ia bergelar Sri Jnanabajreswara atau Sri Jnaneswarabajra dan diarcakan sebagai Jina Mahakshobhya (kini berada di Taman Apsari, Surabaya) sebagai simbol penyatuan Siwa-Buddha; arca ini populer dengan sebutan Joko Dolog. Kertanegara dimuliakan sebagai Jina Wairocana dan di Candi Singosari sebagai Bhaiwara.
Di Kerajaan Sunda-Pajajaran pun diketahui ada sejumlah rajanya penganut Tantra, di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana raja terakhir Pajajaran). Naskah kuno karya anonim pada abad ke-16, Carita Parahyangan menguraikan : “Karena terlalu lama Raja (Nilakendra) tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat, sesuai dengan tingkat kekayaan”.
Dalam novel Pramoedya Ananta Toer berjudul
Arok Dedes (Lentera Dipantara: 2009) yang bersetting awal abad ke-13, pengikut
Tantra ini pun dibahas. Disebutkan bahwa pengikut Tantra ini mengucapkan mantra
“Hling, Kling, kandarpa eraka …” ketika melakukan ritual maithuna, ritual
persetubuhan untuk memuja “kesuburan”. Ada pun najako (wanita yang dikurbankan
dalam ritual tersebut) direbahkan di atas daun kering Mereka melakukan ritual-ritualnya di dalam hutan, di
pedalaman, dan pada malam hari.
Seperti disebutkan di atas bahwa paham Tantrayana-Hindu identik dengan paham Siwa-Bhairawa. Bhairawa (artinya hebat) ini perwujudan Siwa yang mengerikan, digambarkan ganas, memiliki taring, bertubuh besar, dan berwujud raksasa. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat, maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat atau ksetra/kuburan. Ada pun mangkuk berfungsi untuk menampung darah untuk upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih. Wahana atau kendaraan Siwa dalam perwujudan pemakan mayat (diwujudkan sebagai srigala). Sementara itu terdapat sejumlah arca tengkorak di atas kaki Bhairawa
Keberadaan Tantrayana ini dibuktikan pula oleh peninggalan-peninggalan fisik. Di Jawa Tengah, misalnya, kita dapat melihat bukti tersebut di komplek Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Berdasarkan tulisan candrasangkala di gapura teras 1 dan 2, candi ini didirikan antara tahun 1437-1456 M; jadi di era Majapahit menjelang keruntuhannya. Struktur bangunan candinya sendiri berbentuk piramida, mirip peninggalan budaya Maya di Meksiko atau Inca di Peru.
Siwa
Bhairawa
Ada yang mengatakan bahwa Candi Sukuh dibangun oleh pengikut Siwa, ditandai dengan relief Kidung Sudamala dan relief lingga-yoni (yang jumlahnya lebih dari satu). Kidung Sudamala (diadaptasi dari salah satu parwa atau bab Mahabharata) mengisahkan lakon Sadewa (bungsu Pandawa) yang menyembuhkan putri Ni Padapa yang buta dan juga harus membebaskan Bhatari Durga (dewi utama sesembahan Tantris). Ada pun lingga adalah perlambang Dewa Siwa. Selain itu ada pula dua patung garuda dan arca kura-kura yang melambangkan bumi dan Dewa Wisnu. Tiga arca kura-kura tersebut berbentuk meja yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sesaji.
Ada pula ahli yang menenggarai lebih spesifik bahwa candi ini didirikan oleh para Tantris-Bhairawa. Pada dinding-dinding candi terdapat berbagai relief tentang proses kehidupan dan kesuburan semesta: dari bersenggama hingga proses kelahiran manusia baru. Banyak arca yang oleh manusia zaman sekarang dinilai “pornografi”. Di kompleks candi ini ada, misalnya, arca lelaki di mana tangan kirinya tengah menggenggam erat alat vitalnya hingga tegak. Belum lagi relief lingga-yoni, lambang pria dan wanita yang jelas terpahat di dinding candi yang terbuat dari batu andesit.
Kesan vulgar pun akan didapati ketika kita menapaki teras ketiga candi ini. Pada teras ketiga terdapat sebuah pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika pengunjung ingin mendatangi candi induk ini, batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus terlebih dulu dilalui. Konon arsitektur ini sengaja dibuat sedemikian karena candi induk yang mirip dengan bentuk kemaluan wanita ini, menurut sejumlah ahli dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun jika tidak perawan lagi, ketika melangkahi batu berundak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tantra
Bali Kuno
Di Kerajaan Sunda-Pajajaran pun diketahui ada sejumlah rajanya penganut Tantra, di antaranya: Sri Jayabhupati dan Raja Nilakendra (ayah Prabu Suryakancana raja terakhir Pajajaran. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang. Pada waktu itu telah disusun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantra. Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa. Mazhab Tantrayana berkembang dengan pesatnya di bumi persada Indonesia, terutama pada masa-masa kerajaan Mataram kuno, Panjalu, Singasari dan Majapahit.
KEMUNDURAN ALIRAN TANTRAYANA BHAIRAWA
Pada awal berkembangnya sekte-sekte yang ada di Bali sangat rukun namun kian hari menjadi semakin tak karuan diantara sekte-sekte tersebut saling mengklaim bahwa kelompok mereka adalah yang paling bagus. Kian lama kian menjadi konflik yang berkepanjangan sehingga membuat pemerintahan Raja Udayana menjadi terganggu. Atas dasar pertimbangan yang sangat luar biasa untuk mempersatukan sekte-sekte tersebut ditunjuklah Mpu Kuturan sebagai pimpinan untuk menengahi ketimpangan yang ada akibat perseteruan sekte-sekte tersebut. Mpu Kuturan mengemukakan semua ide-idenya melalui pendekatan sosial religius untuk mempersatuakan sekte-sekte di Bali dari ide tersebut lahirlah Konsep Tri Murti. Dengan adanya tatanan yang diajukan dan diajarkan serta diterapkan hingga kini praktek keseluruhan ajaran menyimpang sekte Bhairawa ini tidak ditemukan lagi di Indonesia. Sisa-sisa pengaruh Tantrayana di Bali yang masih terlihat sampai sekarang ialah Sengguhu di Bali yang mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai garuda. Upacara Bhuta Yadnya yaitu korban kepada Bhutakala, adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana.
MAKNA PATRAM, PUSPAM, PHALAM, TOYAM, klik disini
Sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali, maka Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran. Sebab-sebab kemundurannya itu mungkin disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya. Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang biasa.
Tantrayana pada akhirnya lenyap dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanan upacara Tantrayana itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut Tantrayana itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran dan tujuan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah sukar bisa dilaksanakan bagi orang biasa. Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya, baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra.
Kompilasi dari berbagai sumber : IDP Sedana
BACA JUGA, Klik dibawah ini :
Belum ada Komentar untuk "TANTRAYANA BHAIRAWA BERAKHIR - 4"
Posting Komentar