Kemunculan sengkalan di tanah Jawa diyakini bersamaan dengan masuknya perhitungan tahun Çaka (Saka) yang dibawa oleh tokoh legenda Aji Saka. Menurut teori ini, sengkalan berasal dari kata Çakakala, gabungan dari kata çaka dan kala, yang berarti perhitungan waktu menurut Çaka (tahun Çaka). Kata Çakakala kemudian berubah menjadi sakala, sebelum menjadi sengkala atau sengkalan seperti yang kita kenal sekarang. Aji Saka dikatakan dalam babad sebagai tokoh penyebar budaya tulis Jawa dan budaya pengenalan kalender Şaka. Diketahui evolusi aksara Jawa bermula dari aksara pallawa dari India dan kalender Şaka juga adopsi dari budaya India.
Ajisaka
yang menentukan penambahan angka 78 jika kalender Şaka diequivalenkan dengan
kalender masehi. Jadi dalam hal ini diduga masyarakat Jawa mengkhultuskan sosok
Ajisaka sebagai pembaharu budaya Jawa melalui kalender dan huruf. Dan perlu
diketahui pula bahwasanya penambahan kalender dari şaka ke masehi tidak hanya
78, hal ini harus ditambahkan 79 dalam bulan-bulan tertentu (Magha (+/- Januari – Februari), Phalguna (+/- Februari - Maret), atau pada tanggal 10
Suklapaktsa (dari setelah bulan mati
sampai menjelang purnama) - 15 Krsnapaktsa (hari setelah purnama
sampai menjelang bulan mati), bulan
Posya (+/- Desember - Januari).
Pembacaan
angka tahun melalui candra sengkala harus sesuai makna untuk menguak data
sejarah yang spesifik, karena salah pemaknaan angka biasanya dapat mengkaburkan
peristiwa sejarah atau peninggalan sejarah.
Sengkalan ini masih dijumpai dan digunakan di
Jawa, sedangkan di Bali, sebagai salah satu daerah pewaris budaya Majapahit,
yang semestinya melestarikan budaya Majapahit, namun sengkalan sudah jarang dijumpai.
Sebagai gantinya misalnya pada Lambang Provinsi Bali serta Kabupaten-Kabupaten
di Bali, hanyalah mencantumkan Motto,
seperti :
Provinsi Bali
memiliki motto “ Bali Dwipa Jaya”
Kabupaten Badung memiliki motto “Ҫura Dharma Raksaka” (“Kewajiban pemerintah adalah melindungi kebenaran’,)
Kabupaten
Bangli memiliki motto “Bhukti Mukti
Bhakti” mengandung arti “Sebagai suatu pengabdian berbakti kepada Tuhan dan
Negara untuk mewujudkan cita-cita luhur yaitu masyarakat adil dan makmur”.
Kabupaten
Buleleng adalah “Singa Ambara Raja”.
Slogan atau motto ini “Melambangkan kelincahan dan semangat kepahlawanan rakyat
kabupaten Buleleng”.
Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali memiliki motto atau slogan
“Purradhipa Bhara Bhavana”, yang memiliki makna kewajiban pemerintah adalah
meningkatkan kemakmuran Rakyat,
Kabupaten
Gianyar memiliki motto “Dharma
Raksata Raksita” yang bermakna “Barang siapa yang berbuat Dharma, maka ia akan
dilindungi oleh Dharma itu sendiri”.
Kabupaten
Jembrana memiliki motto “Tri Ananta
Bhakti” yang memiliki arti “Tiga pengabdian yang kekal”.
Kabupaten
Karangasem dengan motto “Raksakeng Dharma Prajahita” yang mengandung arti “Berkat perlindungan dharma atau agama untuk
mencapai kesejahteraan rakyat”,
Kabupaten
Klungkung memiliki motto “Dharmaning
Ksatrya Mahottama” yang memiliki arti “Kewajiban seseorang berjiwa ksatria
sungguh mulia”.
Kabupaten
Tabanan memiliki motto “Sadhu Mawang
Anuraga” yang berarti “Damai dan bijaksana dalam menjalankan Dharma demi
kecintaan pada rakyat”.
PENGGUNAAN DAN PENURUNAN KATA
Struktur katanya dalam sengkalan dapat berupa
kalimat atau sekadar susunan kata-kata biasa tanpa membentuk sebuah kalimat. Makna
kalimat atau susunan katanya dapat menggambarakan keadaan pada masa itu, untuk memperingati
peristiwa tertentu, peringatan untuk peristiwa pribadi seseorang dll. Pada
jaman dahulu masyarakat Jawa menggunakan Sengkalan dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti :
1. Pada bangunan rumah, pintu gerbang, kuburan,
gapura, tugu, dan bangunan-bangunan lainnya. . Misalkan pada Menara Kudus
tertulis Gapura Rusak Ewahing Jagad yang menggambarkan
kondisi sosial-politik Kerajaan Demak yang kacau ketika itu yaitu tahun 1609.
2. Pada
karya-karya sastra jawa, benda-benda bersejarah, karya seni,
3. Lambang/simbol
suatu kota, lembaga atau organisasi,
4. Surat-surat
jaman dahulu juga menggunakan Sengkalan untuk menyatakan kala atau waktu tahun
penulisannya. Sering digunakan sebagai peringatan peristiwa-peritiwa penting
yang terjadi disuatu masa yang dapat bermakna sebagai penggambaran terhadap
kondisi politik, sosial, atau juga bermakna do’a harapan,
5. Peringatan
kelahiran, kematian seseorang dan
sebagainya.
6. Do’a
atau harapan sebenarnya sangat sedikit sekali ditemukan, sebagai contoh adalah
Suryasengkala Dresthi Sirna Nir Sikara yang mengandung makna
do’a atau harapan agar segala bentuk penghianatan terhadap bangsa Indonesia ini
hilang dan hilang pula campur tangan asing yang turut serta menyusup dan
menyebabkan kesengsaraan rakyat.
7. Sindriran
yang bermakna positif kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat agar tetap
konsisten terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat penyalur aspirasi rakyat untuk
mensejahterakan kehidupan bangsa. Misalnya Marganing Karta Trus dening
Sujanma yang bermakna “sebab/jalannya kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat akan terpenuhi oleh orang-orang baik dan berpendidikan dalam hal ini
adalah pemerintah dan wakil-wakil rakyat.
Meski susunan kata atau kalimat yang sudah dibuat tidak memiliki makna atau keterkaitan, sebaiknya tidak memiliki pertentangan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun bersangkutan. Pada awalnya penyusunan kaka-kata yang digunakan dalam Sengkalan berasal dari bahasa Sansekerta. Saat ini penyusunan kata-katanya telah banyak menggunakan bahasa Jawa baru yang diturunkan dari bahasa Sansekerta yang telah banyak mengalami perubahan pada pengucapannya namun watak bilangannya tidaklah berubah dan tetap menggunakan pakem bahasa Sansekerta.
Dalam penyusunan sengkalan ada 8 dasar/pegangan,
yaitu:
1. Guru
Dasanama atau dasar sepadan yang berarti kata yang sama atau hampir sama adalah
sama pula wataknya seperti: segara(laut), tirta (tirta), bun (embun), dan
sebagainya.
2. Guru
Sastra atau dasar penulisan yang berarti kata yang sama penulisannya adalah
sama pula wataknya seperti: esthi (berwatak 8) atau asti yang berarti gajah.
3. Guru
Wanda atau dasar sesuku kata yang berarti kata yang pengucapannya sama adalah
sama seperti suku kata utawaka menjadi
uta karena dikurangi suku katanya, kata buja menjadi bujana karena ditambahi
suku katanya dan tata menjadi tinata karena disisipi suku katanya.
4. Guru
Warga atau dasar sejenis yang berarti kata yang dianggap sejenis atau sebangsa
adalah sama juga wataknya seperti: uta yang berarti lintah menjadi ujel yang
berarti belut.
5. Guru
Karya atau dasar sekerja yang berarti cara berlakunya sebuah kata dianggap sama
wataknya dengan apa yang dilakukan sebuah kata tersebut seperti: netra atau
mata memiliki watak yang sama dengan kata mandeng atau melihat karena salah
satu yang dilakukan netra atau mata adalah mandeng atau melihat.
6. Guru
Sarana atau sealat yang berarti sebuah alat yang digunakan untuk mengerjakan
sesuatu adalah sama wataknya dengan sesuatu yang dikerjakan itu seperti: panah
adalah alat untuk pancakarna atau berperang adalah memiliki watak yang sama
dengan pancakarna itu sendiri atau sama juga dengan kata perang.
7. Guru
Darwa atau sekeadaan yang berarti kata yang memiliki sifat dan keadaan yang
sama adalah sama wataknya dengan sifat dan keadaan itu seperti: geni atau api
memiliki watak yang sama dengan kata benter yang berarti panas, karena api
memiliki sifat atau keadaan panas dan sama pula dengan murub atau berkobar
karena api juga memiliki sifat atau keadaan yang berkobar.
8. Guru
Jarwa atau searti yang berarti kata-kata yang memiliki arti sama atau hampir
sama adalah sama pula wataknya meski sebenarnya menyimpang atau berlainan
dengan arti yang sebenarnya seperti: rasa adalah sama wataknya dengan rinaras
atau seras.
BACA
JUGA :
1. Penyusunan
Candrasengkala (4)
2. Ciri-Ciri
Masa Kaliyuga (3)
5. TantraPemujaan Kepada Shakti
SUMBER :
Nusadwipa, Begawan Ariyanta, www//Budies.info, Gubuge Ki Lurah Petruk, , Guruberguru, Kaskus, Kompasiana, Padepokan Walang Semirang, Sang Agni, Temu Konco, Wikipedia
Belum ada Komentar untuk "CANDRA SENGKALA, AJI SAKA DAN SENGKALAN (3)"
Posting Komentar