Oleh : Ida Bagus Bajra , Ph D, BFA
Babad yang baik, adalah Babad yang saat
penulisannya tidak jauh dari tahun kejadian yang ditulis dalam Babad. Sebab
Babad yang ditulis misalnya 100 tahun setelah kejadian, nantinya akan banyak
dipengaruhi oleh ceritera-ceritera rakyat setempat dan bahkan akan dipengaruhi
oleh mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. Babad yang ditulis beberapa tahun setelah
kejadian, dikatakan sebagai sumber
sekunder dalam penulisan Babad, Babad yang baik, hendaknya dapat memberikan jawaban : 5W dan 1H,
yaitu :
1.
What
- Apa peristiwa yang terjadi
2.
When
- Kapan peristiwa tersebut terjadi, dengan menyebutkan tahun terjadinya
3.
Where
- Dimana tempat peristiwa itu terjadi
4.
Who
- Siapa saja yang terlibat dalam
peristiwa tersebut
5.
Why
– Mengapa peristiwa itu terjadi
6.
How
– Bagimana kejadiannya.
Babad yang ditulis dan memenuhi kriteria ini,
tingkat kebenarannya bisa dihandalkan.
Kerajaan Kalianget, yang pernah berjaya, tapi sekarang tidak seorangpun keturunannya yang bisa dijumpai sebagai trah I Dewa Kaleran di Kalianget. Sepintas terasa janggal.Tulisan dibawah ini akan menjawab mengapa hal itu sampai terjadi.
PERANG
ANTAR SAUDARA
Ida I Dewa Kaleran Sakti IV (Prabu Kalianget
IV) menurunkan 2 orang putra , bernama I Dewa Gede Sindu dan I Dewa Anom Abian. Ida I Dewa Kaleran Sakti
IV berkuasa hingga tahun 1595M. dan berpulang
kealam sunya taya pada tahun 1595M, Oleh
beberapa pejabat berpengaruh, didukung oleh I Dewa Gede Sindu bersikeras bahwa upacara harus dilaksanakan di istana Alasarum. I Dewa Gede Sindu dan para istri dan semua putra sambil menghunus keris
berdiri di depan gerbang istana,
bertekad akan membunuh siapa saja yang
berani masuk ke dalam istana untuk menggagalkan upacara perabuan Ida I Dewa Kaleran Sakti IV.
Tindakan ini diikuti oleh para Bhayangkara Lamajang dan prajurit Kaba-Kaba dan Tehehkori,
semua pengikut beliau ketika melaksanakan
upacara perabuan sang Prabhu Kalianget dengan keris terhunus, sehingga
selanjutnya Ida I Dewa Kaleran Sakti IV diberi Gelar Bhatara Mur Ring Bale
Keris,
Melihat kesungguhan kakaknya I Dewa Anom Abian lebih memilih mengalah dan meninggalkan istana Alasarum tanpa mengikuti ritual perabuan Bhatara Mur ing Bele Keris yang adalah ayah kandungnya sendiri, I Dewa Anom Abian lebih memilih untuk mundur dari pada memaksakan keinginannya, karena pengikut beliau tidak sebanding dengan kekuatan istana Alasarum, yang memiliki 2 induk pasukan dengan jumlah yang sangat banyak, ditambah dengan penduduk Alasarum yang sangat setia kepada I Dewa Gede Sindu. I Dewa Gede Sindu berhasil menggelar upacara perabuan Bhatara Mur Ring Bale Keris dengan lancar di Istana Alasarum. Tetapi setelah kejadian itu hubungan antara istana Mataum dan Alasarum memburuk.
Pura Alasarum
I Dewa Sindu mengambil istri dari wangsa Tehehkori menurunkan 5 orang putra : I Dewa Akah, I Dewa Balatung, I Dewa Waringin, I Dewa Kedung, dan I Dewa Pakusaji. I Dewa Abian mengambil istri dari wangsa Kekeran, menurunkan 3 orang putra : I Dewa Pisaja, I Dewa Brangbang, dan I Dewa Bineng. Semakin lama semakin tajam perselisihan antara dua puri, puncaknya saat perseteruan I Dewa Akah dari Alasarum dan I Dewa Bineng dari istana Mataum di arena sabung ayam, diawali dengan saling ejek dua orang saudara sepupu bertarung secara ksatrya tanpa ada yang bisa melerai, karena keduanya adalah sama-sama ksatrya tangguh, pertarungan berimbang, sekian lama bertarung I Dewa Bineng tewas, sementara I Dewa Akah menderita luka parah, dibopong tubuh beliau yang sudah tidak berdaya kedalam istana Mataum, I Dewa Sindu mengira putra beliau ditawan di istana Mataum,
Kejadian di arena sabung ayam itu membuat kehebohan diantara para pengikut mereka. I Dewa Sindu
yang mengetahui putra beliau ditawan di
istana Mataum, segera mengumpulkan para putra dan para pengikut menyerbu istana
Mataum. Seketika terjadi banjir darah, I
Dewa Sindu diiringi para putra, I Dewa Balatung, I Dewa Waringin, I Dewa Kedung
dan I Dewa Pakusaji, mengamuk sejadi-jadinya di istana Mataum. Para pengikutnya
juga melakukan hal yang sama , mayat bergelimpangan, keris tombak, sumpit
berserakan memnuhi jalan. Dalam waktu yang sangat singkat istana Mataum takluk,
I Dewa Abian dan para putra semua tewas, sisanya melarikan diri. I Dewa Gede
Sindhu saat menemukan putranya, I Dewa
Akah juga tewas, sangat berduka dan membakar semua istana Mataum beserta segala
isinya. Inilah Regreg Kalianget, yang tidak pernah tertulis dalam babad-babad,
karena para pengawi tidak mampu
melukiskan , merekam suasana pada saat itu. Saat para ksatrya satu darah
berhadap-hadapan sebagai musuh dan saling mengincar nyawa saudaranya, Regreg
yang diawali oleh sebuah kejadian
memperebutkan upacara memperabukan layon Ida Bhatara Mantuk Ring Bale Keris.
Kejadian ini terjadi pada bulan Maret 1597M, Istana hancur karena perang saudara yang sama-sama memperjuangkan rasa bhakti kepada leluhurnya.
ENERGI SPIRITUAL, Klik Di Sini
MENGHADAP
DALEM DI KLUNGKUNG
I Dewa Gede Sindhu yang terlilit rasa
sedih dan berduka atas terjadinya Regreg tersebut, merasa diri tidak mampu mengatur marah diri sendiri, tidak berminat
untuk menjadi Prabhu lagi, beliau memutuskan untuk menghadap Dalem di
Klungkung, untuk mohon dihukum atas
kelalaiannya sebagai seorang ksatrya, yang tidak mampu menjaga persatuan
warganya. Beliau secara rahasia ditemani
oleh 2 putra yang bernama I Dewa Belatung dan I Dewa Waringin,
meninggalkan istana Alasarum menuju Klungkung. Turut serta dalam perjalanan
para pengikut beliau yang setia yang
terdiri dari wangsa Lamajang , Matajang, Tegehkori, Kaba-Kaba dan Gobleg yang
berjumlah tidak lebih dari 130 orang. Perjalanan mereka dari Kalianget, menembus
hutan belantara melintasi Gobleg, dilanjutkan
menuju Plaga, sekian lama rombongan di Plaga
sehingga membuat pemukiman di lereng
selatan Gunung Mangu. Dari Plaga melanjutkan perjalanan ke Tembuku,
berlanjut ke Sidemen, setelah sekian lama bermukim di Sidemen , rombongan
berlanjut menyusuri sungai Telaga Waja,
hingga sampai di Gelgel pada sekitar tahun 1607M. I
Dewa Gede Sindhu dan kedua putranya menghadap Ida Dalem Sagening, pada sebuah
penghadapan, di depan para Punggawa I Dewa Gede Sindhu mengisahkan tentang nasib warga Lamajang di
Kalianget, dikisahkan dari awal seperti yang beliau dengar dari kisah ayahnya dan yang beliau alami sendiri. Termangu Ida
Dalem mendengar kisah yang dipaparkan
oleh I Dewa Gede Sindhu, apa lagi saat beliau memohon untuk dihukum karena
tidak mampu melanjutkan tugas
leluhurnya dahulu seperti perintah Dewata Ida Dalem Smara Kepakisan dahulu kepada leluhurnya untuk mengamankan wilayah pesisir utara. Sunyi
senyap semua yang hadir , tidak ada yang berkata-kata, sampai I Dewa Gede
Sindhu menyelesaikan ceriteranya. Sekian lama hening sampai Ida Dalem Bersabda
: “”Terjadi semua kehendak Dewata, sudah
tersurat sebelum kita memikirkannya tidak ada yang salah , tidak ada yang
lalai, hanya menjalankan apa yang tertitah”
Pelingih Mojopahit
I Dewa Gede Sindhu dan kedua putranya , Pelingih Mojopahit sembah hormat, kembali I Dewa Gede Sindhu berkata : “Ampun bila hamba salah, bila paduka tidak menjatuhkan hukuman kepada hamba, pada kematian nanti hamba akan sangat menderita, kasihanilah hamba yang sudah tua ini hamba mohon petunjuk arah kematian kepada Paduka Dalem”.
Dalem memandang sekalian yang hadir satu per
satu, beberapa kali menghela nafas tanda
masih ragu, tetapi sebagai sesuhunan keraguan itu harus segera dihilangkan dari pikiran beliau. Setelah
termangu beberapa saat , Ida Dalem bersabda : “Tidak salah paman, ksatrya utama harus
siap menerima hukuman atas
kelalaiannya. Saya menghukum paman, seketurunan tidak boleh memakai gelar Ida I Dewa, wilayah paman
saya ambil dan bila ada keluarga paman
masih tinggal disana, tidak boleh memakai gelar I Dewa”. “Paman saya perintahkan untuk memerangi
orang-orang Manyeneng yang dipimpin oleh
I Panji Landung di anak sungai Ayung. Bila Paman kalah dan tewas, itulah
hukuman dari saya, bila paman menang, paman saya berikan wilayah Manyeneng untuk
paman tempati, bersama para pengikut paman semua”
MENAKLUKKAN
PANJI LANDUNG
Pada waktu yang ditentukan I Dewa Gede
Sindhu, I Dewa Belatung dan I Dewa Waringin, menuju Bali Tengah pada anak
sungai Ayung seperti perintah Ida Dalem lengkap dengan pengiring dan anugrah pengiring dari Ida Dalem yang terdiri dari orang-orang Nusa yang terkenal pemberani dan
ahli dalam ilmu gaib. Rombongan ini sampai di daerah Manyeneng pada tahun
1608M. Setelah tiga hari bertempur, Panji Landung takluk, daerah dan
pengikutnya dihaturkan kepada I Dewa Gede Sindhu, sementara Panji Landung mohon
pamit meninggalkan Manyeneng , dengan mengikuti aliran sungai menuju ke hilir. Semenjak saat itu wilayah
hutan Manyeneng menjadi wilayah
kekuasaan I Dewa Gede Sindhu. Beliau
segera memberi perintah kepada pengikutnya untuk merabas hutan di kedua tepian anak sungai Ayung. Wilayah kekuasaan
beliau meliputi: batas timur Banturan, batas selatan Manguntur, batas barat
Pahang, batas utara Mawang. Hutan yang dirabas dijadikan pemukiman penduduk,
sebagian lagi dijadikan sawah dan kebun, pada tahun 1615M, wilayah desa yang
dibangun menjadi ramai. Aliran sungai yang tidak pernah berkurang airnya,
membuat wilayah ini sangat cocok dipakai
sebagai areal pertanian, tanah pertanian
yang merupakan bekas hutan juga
mendukung kesuburan tanah garapan penduduk.
I Dewa Gede Sindhu yang sudah berusia lanjut,
mangkat berpulang ke alam sunia pada tahun 1617M, beliau diperabukan dengan
tata cara ksatrya ditepi sungai tepat pada pertemuan ujung sungai yang terpecah
menjadi`2, sungai yang sama besarnya, pada dinding lembah yang curam pada semua
sisinya. Setelah upacara, beliau dimuliakan dengan gelar Dewata Mantuk Ring
Manyeneng. I Dewa Belatung membangun tempat bermukim di tepi bagian barat,
sementara I Dewa Waringin membangun tempat bermukim di tepi bagian timur
wilayah pemukiman.
BACA
JUGA, KLIK DIBAWAH INI :
Belum ada Komentar untuk "MENGAPA TRAH I DEWA KALERAN TIDAK TERSISA DI KALIANGET"
Posting Komentar